Minggu, 15 Juli 2018

Operasi Pembebasan Sandera dan Pelangaran Ham oleh Kopasus, ICRC PT.FI di Mapeduma, 1996

Detik Nusa
Operasi Pembebasan Sandera dan Pelangaran Ham oleh Kopasus, ICRC PT.FI di Mapeduma, 1996
Sanderaan Mapenduma.
Krisis sandera Mapenduma adalah peristiwa krisis yang mengakibatkan terbunuhnya rakyat sipil di Mapenduma wilayah Penggungan tengah Papua yang terjadi pada tanggal 8 Januari 1996, dengan disanderanya 26 anggota Tim Ekspedisi Lorentz 95 oleh sayap militer Organisasi Papua Merdeka yang dipimpin Kelly Kwalik.

Peristiwa penyanderaan ini mencuatkan nama Kwalik dan tuntutan kemerdekaan bangsa Papua di dunia internasional setelah pada tanggal 8 Januari 1996.

Pada awalnya, 8 Januari 1996 Mission Aviation Fellowship cabang Wamena mengirimkan laporan pada Komando Distrik Militer Jayawijaya di Irian Jaya. Laporan itu mengatakan bahwa beberapa peneliti dari Tim Ekspedisi Lorentz 95 disandera oleh OPM, kelompok Kelly Kwalik. Para sandera ditahan di Mapenduma, kecamatan Tiom, Jayawijaya waktu itu. Ekspedisi yang telah berjalan sejak 18 November 1995, memang dipusatkan di wilayah Nduga, Mapenduma, sekitar 160 km di barat daya Wamena. Pihak berwenang, dalam hal ini MAKODAM Jayapura dan Brimob Jayapura segera menjalankan Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma.

Pasukan Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Prabowo Subianto diterjunkan ke dalam misi pembebasan sandera tersebut.

Misi pembebasan sandera tersebut berakhir pada tanggal 9 Mei 1996 setelah penyerbuan ke markas OPM di Desa Geselama Nduga.

selain Perabowo memimpin pasukan kopasus, Seorang anggota pasukan asing (Tentara Bayaran) samaran ICRC terlibat dalam pembantaian di Desa Nggeselema Papua barat 1996. Tentara asing dari enem negara dan tentara SAS Inggris diketahui ikut menyusun operasi pembebasan/penyerahan para sandera di Geselema. Ada bukti baru dalam drama pembebasan sandera Mapenduma di Pegunungan Tengah Papua pada 15 Mei 1996. Operasi yang sempat menaikkan pamor Prabowo Subiyanto serta kopasus itu rupanya melibatkan pasukan asing. Pasukan itu terdiri dari satuan SAS Inggris dan tentara bayaran dari Executive Outcomes yang bermarkas di Afrika Selatan. Waktu itu, pers sama sekali tidak mencium adanya keterlibatan pasukan asing ini. Setelah Sandera Dilepaskan Kopasus Malah Membantai Warga Sipil Secara Babibuta.Kopasus Menghipnotis Rakyat Indonesia Yang Notabene Tidak Tau Fakta Dilapangan Dengan Kenyataan Media Lain Adalah Kebohongan Publik Indonesia Oleh Kopasus.HanyaUntuk Menaikan Pamor Perabowo Subianto Sebagai Pimpinan”

Setelah sandera dilepaskan dan dinaikan ke Helikopter terjadi penyerangan babibuta oleh Kopasus dipimpin oleh PERABOWO SUBIANTO. Baik rumah, hewan, masyarakat, Gereja, akibatnya seluruh warga mengungsi kehutan-hutan pada saat itu 9 warga sipil tewas dan puluhan luka luka.militer kopasus-TNI mulai bangun basis pertahanan hingga Setelah tiga tahun berlalu,1999 kini sejumlah saksi mata satu persatu berani membuka fakta sebenarnya.

Sekitar pukul 14.00 WIT, penduduk Nggeselema mendengar deru suara helikopter. Penduduk yang ketakutan kembali tenang setelah mengenali dari kejauhan helikopter tersebut berwarna putih dengan logo dan bendera ICRC. Helikopter tersebut muncul dari arah Sungai Yuguru. Saat helikopter itu mendekat, masyarakat melihat sebuah bendera putih bergambar salib dikeluarkan dari pintu. Tetapi cara mengeluarkannya tidak seperti yang biasa dilakukan oleh ICRC. Biasanya, kalau helikopter ICRC mendekat, maka seluruh bendera dikeluarkan agar terlihat jelas oleh masyarakat. Namun saat itu hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan rasa was-was dari penduduk yang bergerombol di dekat Poliklinik Nggeselema.

Di dalam helikopter itu terlihat lima orang kulit putih, empat laki-laki dan seorang wanita. Wanita kulit putih itu dikenali oleh penduduk sebagai Sylvianne Bonadei, seorang petugas ICRC yang selalu berkomunikasi dengan para penduduk di Desa Nggeselema. Tiba-tiba ke lima orang (Tentara Bayaran) itu melompat turun dari helikopter sambil masing-masing memegang sebuah tas hitam. Kemudian secara bersamaan ke lima orang kulit putih tersebut membuka tas itu dan langsung mengarahkan laras senapan mesinnya ke arah kerumunan penduduk. Tembakan yang membabi-buta itu juga diarahkan ke Gereja serta poliklinik. Penduduk pun kocar-kacir menyelamatkan diri dan sebagian lagi tiarap. Serangan tersebut berlangsung sekitar 5 menit, setelah itu ke lima orang kulit putih itu masuk ke helikopter dan mengudara kembali. Dalam peristiwa serangan mendadak itu, dua orang penduduk tewas tertembak. Mereka adalah, Nindi Wandikmbo dan Amisim. Sedangkan dua orang yang mengalami luka-luka, yaitu Titus Murib, pimpinan OPM dan Teberak Wandikmbo, yang kemudian mengalami cacat tubuh seumur hidup.

Sejumlah saksi mata di Mapenduma juga melihat keberadaan pasukan asing tersebut. Pada tanggal 9 Mei 1996, sore hari, mereka melihat sebuah helicopter ICRC mendarat di lapangan terbang Mapenduma. Kemudian seorang wanita kulit putih berseragam militer turun dan menuju sungai yang ada di dekat situ. Para saksi mata mengenalinya sebagai Sylvianne Bonadei. Ia membasuh mukanya dengan air sungai, kemudian meminum airnya lalu menyemburkan air itu ke empat arah mata angin. Setelah itu ia kembali ke helikopter dan mengudara kembali. Para saksi mata yang melihat kelakuan wanita kulit putih menafsirkannya sebagai tanda bahwa orang-orang yang berada di dalam helikopter itu telah membunuh orang. Sebab menurut kepercayaan Suku Nduga, setiap orang yang baru membunuh harus mencuci muka sebagai tanda agar roh orang yang dibunuhnya itu tidak membayanginya. Mereka juga heran, bagaimana mungkin wanita kulit putih itu mengerti budaya Suku Nduga namun ada kebenaran bahwa mata-mata orang asli sedang bersama mereka.

Keterlibatan pasukan asing itu juga diperkuat oleh kesaksian dari salah seorang sandera, Adinda Sarawasty, Dalam Bukunya, “Sandera,130 Hari Terperangkap Dimapenduma”. Disebutkan dalam buku itu: Di atas ada seorang yang memakai baju hijau (baju tentara). Saya mengadu kepadanya bahwa Navy sudah dibunuh. Namun orang itu mengatakan, “Orang-orang saya hanya kulit putih.” Mendengar kalimat itu saya melarikan diri bersama Anna dan Annett. Justru yang mengejutkan adalah pengakuan dari Nick van den Bergh, seorang pemimpin Executive Outcomes, salah satu lembaga tentara bayaran di Afrika Selatan, dalam wawancaranya di film dokumenter “Blood on the Cross” yang diproduksi oleh TV ABC, Australia. Dia membenarkan keterlibatan pasukannya dalam penyerangan ke Mapenduma. Dia memimpin lima anggota Executive Otucomes dan bertindak sebagai penasehat teknis dan pelatihan bagi satuan tim penyerangan helikopter. Dia juga membenarkan kehadiran tentara elit dari pasukan Inggris SAS, meskipun ia menyangkal keberadaan pasukannya dan SAS dalam penyerangan di Desa Nggeselema.

Meskipun demikian, ratusan orang penduduk sipil tewas dalam serangan di hari yang sama (9/05/1996) setelah serangan mendadak dari helikopter ICRC yang digunakan oleh kelima orang kulit putih Tentara bayaran asing itu. Desa Nggeselema, Talem, Yuguru dan kampung kecil lainnya dibombardir dengan bom, granat dan roket dari udara oleh helikopter milik ABRI dan PT Airfast yang berpusat di Timika yang tiba-tiba menyusup masuk saat helikopter ICRC lepas landas.dan membombardir Gereja-Gereja serta Rumah warga dimana tempat yang ditempati warga sebagai tempat pelindungan.

Korban Pelanggaran HAM Atas Operasi Militer Sesudah Pembebasan Sandera tersebut berkisar ratusan orang. Mapenduma 26 Februari 2000 empat tahun sudah berlalu (1996-2000) tapi dampak krisis penyanderaan yang terjadi Mapnduma 1996 masih kami rasakan karena banyak cerita duka yang penuh dengan pelanggaran HAM yang ditebar setelah sandera dibebaskan . Sandera dibebaskan atau diserahkan barulah kopasus mulai babibuta sapubersih dan membombaadir terhadap warga sipil dan Gereja. Militer Indonesia (kopasus pimpinan PERABOWO SUBIANTO) beroperasi setelah sandera diserahkan OPM tidak benar kopasus berhasil bebaskan sandera dimapenduma yang meliputi daerah; Jila, Bela, Alama, Nggeselama, Mapenduma, Yigi, Mugi dan Mbua.

Fakta kebenaran adalah sandera tersebut diserahkan Daniel Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik melalui kesepakatan antara Moses Weror di PNG namun setelah sandera diserahkan berikutnya adalah kopasus menjalankan pembersihan terhadap warga sipil,13 Gereja, ternak-ternak milik warga didelapan desa, pemerkosaan, pembunuhan, pemgejaran yang korban jiwa lebih dari 200 warga sipil, baik tewas dibunuh maupun mati dalan pengungsian dihutan. Seperti dilaporkan ada 123 tewas dihutan akibat diburuh pasukan kopasus yang dipimpin PERABOWO SUBIANTO. Derita itu belum berakhir, bahkan sampai sekarang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menguasi kampung kami dengan misi pembuatan jalan trans Papua melalui Nduga ke penggunungan tengah Papua membuat hidup kami tiap hari tidak bebas dan tertekan dengan cara biadap militer ( SIPUR)

Seperti yang pernah dilaporkan blog ini tiga hari yang lalu; terkait kasusu ini, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Klasis Mimika, Gereja Kristen Injili di Irian Jaya (GKI) Klasis Mimika, Gerja Katolik Paroki Tiga Raja Timika pada bulan Mei 1998 dan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM) Irian Jaya (Papua Barat) pada bulan Agustus 1999, bahwa telah terjadi kasus pelanggaran HAM berat di wilayah kami sehubungan dengan krisis penyanderaan dan Operasi Militer tersebut sebagaimana kesaksian-kesaksian yang telah kami sampaikan kepada lembaga-lembaga tersebut baik terjadi saat krisis penyanderaan yang dilakukan Gerilyawan Organisasi Papua Merdeka (OPM), pimpinan Daniel Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik pada tanggal 8 Januari 1996 di Mapenduma terhadap 13 Ilmuan asal Inggris, Belanda, Jerman dan Indonesia pada saat operasi pembebasan sandera tanggal 9-15 Mei 1996.

Pasca, Pembebasan Sandera Tercatat Telah Terjadi Beberapa Kasus Yang Meliputi: Kasus pembunuhan, 35 orang oleh kopasus yang dipimpin perabowo subianto.KasusPemerkosaan terhadap 14 perempuan diantaranya ; (i) anak perempuan yang masih berumur 3 tahun, (ii) seorang Perempuan berumur 12 tahun, dan satu berumur 50 tahun (Lansia)pengemboman dan penghancuran 13 buah gerejapengemboman dan pengangusan 166 buah rumah penduduk 5. 123 orang meninggal karena sakit dan kekurangan bahan pangan dalam masa pengungsian dihutan.

Kami tahu bahwa laporan-laporan tersebut sudah disampaikan kepada Komnas HAM, DPR RI, dan parlement pemerintah Inggris, pemerintah Belanda, pemerintah Jerman, Palang Merah Internasional (ICRC) dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Berbagai desakan baik dari gereja-gereja yang ikut prihatian dengan penderitaan kami, minta agar pihak-pihak yang paling berwenang menyelidiki dan mengumumkan secara terbuka hasil-hasil temuannya. Kami terus menunggu dan menunggu hingga sampai saat ini tapi ternyata belum ada realisasinya.

Berbagai upaya kami lakukan untuk menggapai keadilan di negara ini, namun keadilan itu sulit kami raih, Komnas HAM datang lakukan verifikasi atas laporan-laporan gereja-gereja dan membenarkan telah terjadi pelanggaran HAM berat didesa Bela, Alama, Jila dan Mapenduma tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasinya.Sebuah kesaksian Pihak ICRC lembaga kemanusian, internasional menurut kesaksian mereka adalah: “kami telah terlibat dalam misi berdarah Operasi Militer saat pembebasan sandera dan juga tidak melakukan penyelidikan langsung dilapangan kecuali hanya terus-menerus membela diri” juga Pemerintah Inggris menolak memberi komentar atas indikasi keterlibatan pasukan SAS dalam operasi tersebut.

Pemerintah Belanda yang diduga kuat terlibat dalam operasi Militer tersebut juga belum menentukan sikap atas desakan berbagai pihak. Sementara pemerintah Afrika Selatan hanya menyatakan bahwa “Tentara Bayaran Afrika selatan yang terlibat dalam Operasi Militer tersebut ilegal di negaranya” Semua tidak jelas dan tidak pasti bagi kami, sementara wilayah kami masih terus dikuasai Militer Indonesia dan menjalankan operasi militer, pembantaian, pemerkosaan,pembunuhan dan pengejaran serta pembakaran Gereja-Gereja. Rumah-Rumah warga sipil 1996-2001. Dibawah pimpinan PERABOWO SUBIANTO yang menyebabkan pengungsian besar besaran serta membuat hak kebebasan hidup kami setiap hari tidak bebas, takut dan tertekan. Oleh sebab itu melalui pernyataan ini, sekali kami lagi menuntut :

1) Palang Merah Internasional (ICRC).

Dewan ICRC di Geneva untuk membentuk tim penyelidik untuk menyelidiki secara langsung di lapangan tentang sejauh mana peran ICRC Jakarta waktu itu dalam negosiasi dengan OPM, keterlibatannya dalam operasi pembebasan sandera dan pihak-pihak yang memanipulasi simbol-simbol ICRC untuk kemudian membantai saudara-saudara kami. Masyarakat sipil serta membakar 13 Gereja.

2) Pemerintah Indonesia

Presiden RI untuk menjelaskan mengapa membiarkan tentara asing dari 6 negara masuk dan membunuh rakyat kami sendiri. Presiden harus mempertanggungjawabkan berbagai pelanggaran HAM yang melibatkan TNI indonesia serta kekerasan yang menimbulkan korban jika Rakyat sipil, usai OPM membebaskan sandera.

3) Pemerintah Inggris dan Belanda

sebagai aktor yang terlibat dalam kekerasan fisik. Segera membentuk tim penyelidik untuk mengungkapkan kerterlibatan tentara Inggris dan Belanda dalam operasi Militer saat pembebasan sandera di Mapnduma karena sampai saat ini masih terauma dan tidak akan pernah melupkan kisa buruk ini.

3) Pemerintah Afrika Selatan

Segera membentuk tim penyelidik untuk mengungkapkan keterlibatan tentara bayaran dari Afrika Selatan yang telah membantai saudara-saudara kami di Mapenduma Papua barat.

Otis Tabuni, Aktivis HAM Papua, Asal Mapenduma yang juga tahun 1996 makan daun mentah karena tahan lapar di hutan saat peristiwa itu. Semoga bermamfaat dan melanjutkan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua.Aktor dibalik kekerasan di Mapenduma adalah Kopassus dibawa pimpinan Prabowo Subyanto dan aktor keduanya adalah Palang Merah International ( ICRC) walaupunPara pejabat ICRC mengatakan kepada penulis bahwa helikopter menyamar dan penggunaan lambang Palang Merah merupakan sebuah “pengkhianatan” tentang apa yang bisa ICRC telah memprotes, tapi tidak. Konsekuensinya adalah sangat merusak reputasi ICRC dengan orang Papua. untuk membatasi efektivitas di Papua Barat selama bertahun-tahun. (Pemerintah Indonesia kemudian dipaksa ICRC untuk menutup kantornya di Jayapura, tindakan yang tidak terkait dengan urusan penyerangan di Geselema papua. Tetapi saksi Mata dilapangan terbukti bahwa awal pengemboman di Desa Geselema pada pukul 14:00 WPB ini, elikopter yang ditumpangi oleh palang merah International meletakan bendera berlambang salib meletakan di jendela bagian kiri dan seketika menderat di lapangan dengan persenjataan lengkap kemudian melakukan penembakan rentetan terhadap warga sipil yang sedang berkerumunan untuk menyaksakan helikoter tersebut. Yang ketiga adalah PT. FREEPORT yang mempasilitasi para Kopasus, menyediakan Helikopter AIRFAST milik Freeport dan penyediaan bahan pangan serta lainnya bagi Kopasus.


Copyright ©Baptis Papua "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar