Sabtu, 17 Februari 2018

Program Beasiswa Luar Negeri Propinsi Papua Perlu Direvisi

Detik Nusa
Program Beasiswa Luar Negeri Propinsi Papua Perlu Direvisi
Foto: Septinus G. Saa.
Jayapura -- Program beasiswa luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah propinsi Papua hendaknya direvisi. Hal ini dikatakan Septinus G. Saa dalam surat elektroniknya dari Amerika, Jumat (16/2/18).

Septinus G. Saa memberikan apresiasi yang luar biasa kepada propinsi Papua di bawah kepemimpinan Lukas Enembe.

"Kita perlu bangga dengan kepemimpinan Bapak Lukas Enembe yang gencar mengirimkan putra/i Papua untuk melanjutkan pendidikan lewat beasiswa. Mereka ini di kirim ke negara maju untuk menimba ilmu," ujar Septinus G. Saa.

Namun George menyayangkan program ini. Beberapa catatan penting diberikan untuk masukan ke depan.

Pertama, perlu diketahui bahwa menamatkan pendidikan di luar negeri apalagi hanya sampai jenjang pendidikan S1 atau S2 saja, belum tentu ilmu yang didapati dapat langsung diterapkan di Papua. Alasan utamanya adalah posisi yang disiapkan untuk mereka bekerja belum disiapkan oleh pemerintah Papua.

Lembaga riset strategis di Papua belum didirikan dan bila sudah adapun, bila mereka masuk dan bekerjapun masih harus dimentor lagi. Hal lainnya adalah bidang studi yang mereka ambil terkadang tidak aplikatif langsung di Papua.

Ini penting karena perlu diketahui sebagai contoh, seorang mahasiswa dididik di Amerika pada dasarnya sistem pendidikan disana (Amerika), mereka ini dididik dan disiapkan dengan tujuan untuk dapat nantinya masuk bekerja di industri-industri di Amerika.

Industri yang sudah stabil dengan program induction yang lengkap juga proses mentoring di dalam perusahaan yang jelas sehingga mereka dapat beradaptasi cepat.

Hal lainnya yang perlu diketahui adalah kelengkapan alat/laboratorium dimana mereka belajar di Amerika belum tentu dengan mudah didapatkan di Papua – semisalnya ketika mereka ingin menerapkan ilmunya, sudah pasti alat yang mereka pakai selama belajar dan juga bisa dipakai saat bekerja/mengembangkan suatu konsep, desain atau membuat suatu produk sudah tentunya tidak tersedia.

Hal ini sudah lazim bukan saja di Papua namun di Jakartapun belum tentu ada. Biaya yang diperlukan untuk mendirikan laboratorium dengan instrumen penelitian yang lengkappun harganya selangit dan mungkin saja instrumen-instrumen ini diproduksi khusus untuk industri ataupun lembaga riset/institute di Amerika. Ini salah satu contoh saja.

Kedua, mereka yang dikirim belajar di LN, terkadang mereka didoktrin untuk pulang bangun Papua. Ini banyak didapati dari nasehat dan himbauan dari Bapak/Ibu yang me-manage program beasiswa ini.

Padahal, ilmu yang didapati di kampus ini rata-rata ilmu dasar juga aplikasi sebatas perhitungan di atas kertas dengan sedikit praktikum dasar.

Ketika mereka harus balik dan bekerja, mereka ini perlu diedukasi/dibimbing lagi oleh pekerja profesional yang lebih senior dalam hal pengaplikasian ilmunya.

Akhirnya akan ada gap besar bagi mereka untuk bagaimana mengaplikan ilmu mereka. Oleh karena ini, harusnya bukan saja beasiswa yang diberikan kepada mereka namun mereka juga diberikan kelonggaran serta kesempatan untuk berkarir, tinggal di luar negeri, bekerja secara professional di negara tempat mereka study sehingga ketika mereka balik ke Papua, mereka datang dengan kantong-kantong kemapanan mereka (uang, pengalaman praktis juga koneksi).

Disini, ketika mereka balik, mereka datang menjadi solusi dan bukan lagi datang dan menanyakan dimana posisi mereka bekerja, atau meminta dukungan lagi dari pemerintah kita untuk mereka bergerak, dan mungkin sekali bagi mereka dapat secara mandiri mendirikan lembaga, usaha ataupun menerapkan teknologi yang mereka sudah fasis menguasainya dari pengalaman bekerja di negara tersebut.

Bisa jadi mereka di doktrin untuk mendirikan perusahaan baru (start up) di negara tempat mereka study ini dengan sokongan dana pemerintah kita (Papua) dimana mereka dapat mengakses pasar yang jelas disana. Hasilnya, saat mereka datang ke Papua, entah menjadi investor atau konsultan atau pebisnis mandiri, mereka akan menjadi solusi dan bukan lagi menjadi beban pemerintah.

Ketiga, sangat diharapkan beasiswa yang diberikan pemerintah kita harus dibatasi bidang studinya bila memang nantinya mereka akan diwajibkan untuk balik mengabdi di Papua. Bidang yang dibiayai lewat jalur beasiswa ini harus relevan dengan kebutuhan Papua 10-20 tahun kedepan.

"Saya melihat beasiswa yang diberikan oleh pemerintah kita Papua ini dibuka luas dan bebas. Mereka yang dibeasiswai diberikan keleluasan dalam memilih jurusan mereka. Terkadang jurusan yang masih jauh jaraknya bila ingin diaplikasikan. Conton kecil semisalnya teknik nuklir ataupun ilmu sains yang sangat rumit contohnya astronomy atau sejenisnya.

Bukan berarti saya menilai bidang-bidang high-technology ini tidak penting namun kalau memang Papua mau pembangunan infrastruk di Papua dikerjakan oleh anak Papua yang dibeasiswa, mereka harus mengambil jurusan strategis, misalnya teknik sipil, arsitektur, teknik struktur, teknik mesin, teknik listrik, teknik perkapalan, teknik pesawat ringan, teknik kimia, teknik proses ataupun manajemen konstruksi.

Bila fokus Papua adalah bangun jalan, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, pabrik semen, pabrik gas, pabrik kimia atau pabrik-pabrik strategis lainnya, maka beasiswa yang harus di buka adalah beasiswa berdasarkan jurusan yang ditentukan dari awal," ujar Septinus George Saa panjang lebar.

Keempat adalah soal kemapanan bahasa Inggris. Rata-rata mereka yang di beasiswakan (S1) ini tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup. Disini, pemerintah kita harus membayar ektra bagi mereka yang dibeasiswa untuk ikut kursus bahasa inggris ataupun bahasa lainnya (jerman, perancis, spanyol etc). Hal ini memakan waktu dan biaya yang hanya terbuang saja.

"Usul saya, mereka harus digembleng dan dididik bahas Inggrisnya cukup di Papua saja. Di Papua, lembaga bahasa seperti Papua Language Institute dapat menjadi mitra pemerintah kita untuk pengemblengan ini. Juga, lembaga bahasa di UNCEN, TITIP, dan di institusi lainnya yang ada di Papua dapat juga ikut berperan untuk mempersiapkan bahasa inggris mereka. Jadi, sampai di luar negeri, mereka sudah siap untuk ikut perkuliahan dengan baik," ujarnya.

Kelima dan terakhir, anak-anak Papua yang di kirim ini sangat sedikit yang diberikan pembimbingan intensif tentang identitas mereka sebagai putra/i Papua atau orang melanesia/Indonesia. Mereka kurang didoktrin sehingga terkadang motivasi mereka rapuh dan cepat menyerah.

Lebih parah lagi, mereka karena kurang diberikan pendidikan kepemimpinan juga penguatan kultur orang Papua, mereka dengan mudah dapat mengadopsi kehidupan orang-orang di negara maju.

"Saya contohkan misalnya refreshing yang berlebih contohnya clubbing malam, teguk alkohol ataupun bisa jadi seks bebas misalnya. Singkatnya, kita harus tanamkan daya juang yang tinggi bagi mereka karena mereka pergi kesana adalah sebagai duta besar atau wakil-wakil Papua.

Mereka adalah wajah dan cermin orang Papua. Hal ini sangat penting bagi saya untuk sampaikan karena pengalaman telah membuktikan ini. Bila seorang anak Papua tidak sadar akan tugas berat yang dia bawa ketika pergi belajar di negeri orang, mereka akan kehilangan arah bahkan lupa alasan apa mereka di kirim untuk belajar sampai ke negara-negara maju ini," ujar Saa penuh harapan.

Pada akhir surat elektroniknya Septinus George Saa menitipkan harapan semoga sarannya didengar oleh pemimpin di tanah Papua. Septinus juga menyampaikan salam perubahan.



Copyright ©Pasific Pos "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar