Jumat, 02 Agustus 2019

Sastra Dari Bawah Pohon Rampa-Rampa

Detik Nusa
Anak Afa-Afa  menulis (mansur armain)
Catatan Rudi Fofid - Tidore

Tahun 1994, saya mengasuh rubrik Bianglala Puisi di harian Suara Maluku, Ambon.  Sungguh nikmat membuka amplop dan lipatan kertas menemukan puisi baru.  Ada yang ditulis tangan rapi,  ada pula yang pakai mesin tik. 

Saya tidak pernah bertemu para penyair yang mengirim puisi ke Suara Maluku.  Otomatis, saya  tidak kenal mereka. Satu-satunya penyair yang datang ke kantor redaksi, mencari redaktur yang tak dikenalnya, dan berbicara langsung empat mata adalah Dino Umahuk, mahasiswa Universitas Darussalam, Tulehu.

Ada dua nama yang tetap saya ingat,  kagum, dan hormat, walau tidak saya kenal.  Evasakti dan Ibrahim Indah.  Sebagai redaktur yang punya otoritas  menilai kelayakan puisi, memutuskan muat atau tidak muat, saya merasa rendah di hadapan puisi-puisi dua penyair ini.

Jika pernyair-pernyair pemula menulis asmara, bulan, angin sibu-sibu, atau pasir putih, dan lambaian kelapa, maka Ibrahim Indah berbicara tentang ketimpangan negara dan rasa rindu pada keadilan. Puisi Evasakti menggugah perdamaian dunia.  Ia merambah sampai ke Palestina, Uni Sovyet, Amerika Serikat.

Kalau ditanya siapa penyair Maluku saat itu,  saya pasti teringat Evasakti, Ibrahim Indah, Dino Umahuk, dan satu lagi anak SMA bernama Rudy Latuheru. 

Hari Minggu, 13 Februari 1994, pukul 23.00 WIT,  inilah saat-saat deadline.  Pelaksana Harian Pemred Suara Maluku Sam Abede Pareno meminta saya mencari sebuah foto ilustrasi untuk tulisan tentang hari Valentine.  Saya menyerahkan sebuah foto dokumentasi dari Cina. 

Foto itu sungguh featuristik.  Seorang pria berumur dengan busana lusuh, raut kusut, menggendong perempuan tua di punggungnya.  Nenek dengan penuh kerut di wajah, duduk menyamping seperti di atas sepeda motor.  Wajah itu sangat tenang menatap ke arah lensa kamera.  Pria itu rupanya  menggendong ibunya, saat musibah banjir besar melanda sebuah perkampungan di Cina.

"Inilah cinta.  Foto untuk Valentine Day.  Hari kasih sayang itu, bukan sebatas asmara muda-mudi," kata saya saat menyerahkan foto itu.

"Wah, bagus. Siapa ini?"  Tanya Sam Abede Pareno.

"Anggap saja, ibu kita semua," jawab saya sekenanya. 

Sekalipun demikian, pikiran saya melayang ke rumah dan kampung saya di Wayamiga, Bacan.  Pada ayah dan ibu. 

Esoknya, 14 Februari, masih jam 70.00 WIT, kakak saya Victoria datang ke kantor, mengajak saya saat itu juga ke Bandara Laha Pattimura.  Kita harus ke Ternate, lalu naik kapal ke Bacan. 

Di Bacan, barulah kakak saya Maria bercerita bahwa Ibu  meninggal, pukul 23.00 WIT, ya persis saat saya dan Sam Abede Pareno sedang diskusi foto Hari Valentine.

Setelah selesai pemakaman, saya masih tetap tinggal di rumah, dan tidak segera ke Ambon.   Saya pergi bertemu kawan-kawan lama, semasa SD di dekat Benteng Barnaveld di Labuha  dan SMP di kaki Gunung Borero, Amasing Kota. 

Saya sedih melihat Benteng Barnaveld yang hancur, ditumbuhi pohon beringin, banyak sampah plastik dan pecah beling.  Rumput dan pohon menumpuk, membungkus badan benteng.  Saya menulis untuk koran suara Maluku.  ``Benteng Bernaveld, Sebuah Kesunyian Yang Mencekam``.

Saya mendapat telepon dari Pejabat Bidang Museum, Sejarah dan Kepurbakalaan di Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku.  ``Terima kasih Rud, untuk tulisanmu. Kami sudah tegur camat dan kepala kantor Pendidikan di Labuha,``  kata Ibu Ace Sahusilawane melalui telepon.

Sebelum ke Ambon, saya masih sempat ke Mandaong. Saya datangi lagi sungai, batu, pohon, rumput, dan semak-semak tempat kami menjelajah, sepulang sekolah.  Ada Pohon Galala besar di satu tempat. Dulu, kami sering menunggu malam. Saat bulan pake payung, kami pergi mengintip meki atau suangi menari bulan.

Menjelang magrib, saya melintas di kebun coklat milik Aba Feisal Alkatiri. Saya tidak kaget bertemu pria tinggi besar  yang sangat saya kenal. 

``Ngana, Rudi, bukan?``

Oh, syukur Om Feisal Alkatiri masih kenal saya.  Saya berkawan dengan Farid dan Faruk, putera kembar Om Feisal. 

Saya dan Om Feisal bercakap-cakap dari bawah pohon coklat, sampai ke teras rumahnya di tengah kebun.   Ia menyatakan bela sungkawa untuk kepergian ibu saya. 

Mata Om Feisal nampak berbinar, ketika mengetahui bahwa saya bekerja di harian Suara Maluku.

``Saya sering mengirim puisi ke Suara Maluku,``  kata Om Feisal.

Tentu saja saya kaget, dan tidak percaya, sebab saya tidak pernah menerima puisinya.  Saya  jelaskan, sebagai redaktur puisi di Suara Maluku, saya tidak pernah menerima puisi Om Feisal. 

Pria jangkung ini berdiri lalu keluar dengan beberapa edisi surat kabar Suara Maluku.

``Ini puisi saya di Suara Maluku,`` ujar Om Feisal sambil menunjuk puisi dan namanya di rubrik Bianglala Puisi. Evasakti.

``Emir Feisal Alkatiri.  Saya singkat saja menjadi Evasakti,`` papar Om Feisal sambil tersenyum-

Saya meninggalkan rumah Om Feisal dengan rasa mewah. Di bawah rimbun pohon-pohon coklat, di kaki Gunung Sibela nan menawan,  telah lahir puisi-puisi bernas, kritis, dan sastrawi. 

Om Emir Feisal Alkatiri alias Evasakti, mungkin tidak dikenal dalam jagat sastra Indonesia dan dunia.   Akan tetapi,  saya percaya, sastra tidak terkungkung oleh satu batas administrasi, atas terpusat di satu ibukota sastra.   Tradisi keindahan ada di mana-mana, di kota maupun kampung, termasuk di dalam masyarakat
Menulis kreatif di Gurabunga (mansur armain)
tradisi yang jauh dari hiruk-pikuk masyarakat urban.  Puisi-puisi bisa tumbuh dari bawah pohon coklat, sebagaimana Om Feisal.

GELIAT TIDORE

Sudah dua pekan di Tidore, saban hari saya  bertemu orang muda.  Ada yang masih SD, namun ada pula yang sudah selesai magister dan doktor. Sejumlah mahasiswa Univeritas Nuku, Jaringan Mahasiswa Nuku,  para wartawan, seniman, dan "Presiden Tidore" Bams Conoras yang eksotik.

Saya ke Kampung Gurabunga, Kalaodi, Afa-Afa, bertemu dengan pegiat literasi, dan anak-anak pranggang yang minat sastra.  Mansyur Djamal , pentolan literasi dari Garasi Genta Ternate yang kini membangun Sabuah Aksara di Tidore, menjadi "manajer kegiatan".  Jurnalis Mansur Armain, juga setia mengantar saya ke mana saja.  Sungguh mewah.

Kemewahan paling paripurna adalah melihat anak-anak tumbuh di bawah pohon cengkih, pala, durian, kelapa, dan bunga-bunga.  Bougenvile bagaikan bunga yang melingkar dada dan badan Pulau Tidore.  Belum lagi angrek tanah, kembang sepatu, lili, aster, pica piring, kamboja jepang, mayana, dan tidak lupa dodihu alias puring.
Berlatih menulis di Afa-Afa (mansur armain)

Kie Matubu menjadi atap Tidore. Keindahan ini tentu menjadi danau inspirasi yang tidak pernah kering.  Saya percaya, tak akan ada musim kemarau apalagi pacelik literasi di sini.  Para muda sedang bergerak.  Mansyur ``Ongk`` Djamal dan barisan para muda sedang menyemai bibit literasi di Tidore. 

Jika para muda setia merawat semangat sebagaimana petani Tidore beratus tahun merawat cengkih dan pala dengan sayang, kelak dari Tanah Nuku akan muncul Syaifudin Muda yang kuat literasi.  Tinggal tunggu waktu, kita akan bertamu ke bawah pohon rampa-rampa, tempat para penulis Tidore membangun rumah sastra.  Puisi-puisi, esai-esai, novel, akan ditulis dari sana.

Kafe Kora-Kora, Tidore, 2 Agustus 2019
Dalam Suasana Diskusi Kampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar