Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Zaid Ra'ad Al Hussein (Foto: Ist). |
Jakarta -- Rencana kunjungan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Zaid Ra'ad Al Hussein ke Indonesia mulai Minggu, 4 Februari hingga 7 Februari tanpa ke Papua dipertanyakan oleh aktivis HAM Papua, Yan Christian Warinussy.
Hussein dijadwalkan akan berada di Jakarta bertemu dengan Presiden Joko Widodo, sejumlah menteri dan organisasi LSM, termasuk untuk membahas isu-isu terkait dengan Papua. Namun, belum ada jadwal mengunjungi pulau paling timur Indonesia itu.
"Padahal sesuai dengan perkembangan yang ada, isu utama mengenai dugaan pelanggaran HAM yang berat yang diduga dilakukan oleh negara Indonesia terhadap Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua mendapat sorotan luar biasa dari berbagai negara di dunia, khususnya di kawasan Pasifik dalam kurun waktu 5 (lim) tahun terakhir ini," kata Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.
Yan Warinussy mengatakan tiadanya jadwal mengunjungi Papua dan bertemu dengan korban pelanggaran HAM di Papua, mendatangkan dugaan bahwa pemerintah Indonesia melakukan tindakan membatasi akses bagi petinggi PBB urusan HAM untuk berkunjung langsung ke Tanah Papua.
"Fakta menunjukkan bahwa berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM yang berat telah terjadi di Tanah Papua semenjak wilayah ini diintegrasikan melalui sebuah proses politik yang beraroma pelanggaran HAM bernama Act Of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) atau yang oleh Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)," kata Yan Christian.
Hussein dijadwalkan akan berada di Jakarta bertemu dengan Presiden Joko Widodo, sejumlah menteri dan organisasi LSM, termasuk untuk membahas isu-isu terkait dengan Papua. Namun, belum ada jadwal mengunjungi pulau paling timur Indonesia itu.
"Padahal sesuai dengan perkembangan yang ada, isu utama mengenai dugaan pelanggaran HAM yang berat yang diduga dilakukan oleh negara Indonesia terhadap Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua mendapat sorotan luar biasa dari berbagai negara di dunia, khususnya di kawasan Pasifik dalam kurun waktu 5 (lim) tahun terakhir ini," kata Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.
Yan Warinussy mengatakan tiadanya jadwal mengunjungi Papua dan bertemu dengan korban pelanggaran HAM di Papua, mendatangkan dugaan bahwa pemerintah Indonesia melakukan tindakan membatasi akses bagi petinggi PBB urusan HAM untuk berkunjung langsung ke Tanah Papua.
"Fakta menunjukkan bahwa berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM yang berat telah terjadi di Tanah Papua semenjak wilayah ini diintegrasikan melalui sebuah proses politik yang beraroma pelanggaran HAM bernama Act Of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) atau yang oleh Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)," kata Yan Christian.
...Simak ini: Kepalsuan Sejarah Papua dalam NKRI | Penyelenggaran PEPERA 1969 dan Keputusannya
Secara khusus Yan Christian menyebut tiga kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua yang hingga saat ini belum terungkap. Yaitu Kasus Wasior 2001, Kasus Wamena 2003 dan Kasus Paniai 2014. "Tidak satupun yang diselesaikan oleh negara melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hingga ke pengadilan yang adil dan fair," kata dia.
"Sebagai advokat dan pembela HAM di Tanah Papua, saya sangat menyesalkan tindakan pembatasan akses yang kami duga keras telah dilakukan oleh pemerintaha, sehingga anggota Komisi Tinggi HAM PBB tersebut sama sekali tidak bisa datang ke Tanah Papua," ia berkata dalam siaran pers yang diterima oleh satuharapan.com.
Padahal, kata dia, laporan-laporan yang sudah diterima baik oleh Komisi Tinggi HAM PBB maupun Dewan HAM PBB selama 5 (lima) tahun terakhir ini justru berasal dari berbagai organisasi non pemerintah (LSM) HAM serta organisasi keagamanaan (gereja-gereja) yang ada di Tanah Papua.
Ini, kata dia, penting menjadi catatan bagi lembaga-lembaga hak asasi manusia di Tanah Papua dan dunia untuk memberikan kritik dan pandangan kedua (second opinion) kepada Komisi Tinggi HAM dan Dewan HAM PBB di Jenewa-Swiss.
Sementara itu Kementerian Luar Negeri menegaskan misi kunjungan Zeid Ra`ad Al Hussein ke Indonesia bukan untuk pemantauan pelaksanaan HAM di Indonesia.
"Kunjungan ini bukan dalam rangka misi pemantauan, tapi lebih pada kerja sama pada masalah HAM global," kata Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kemenlu Dicky Komar di Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Jakarta, Selasa.
Al Hussein akan tiba di Jakarta pada Minggu sore (4/2) sore. Ia dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri, di antaranya Menteri Luar Negeri, Menteri Agama, Kapolri, Kejaksaan Agung, Menteri Koordinator Maritim, serta Komisi III DPR. Ia juga diagendakan melakukan pertemuan dengan Komnas HAM RI, Komnas perempuan, Komisi perlindungan anak Indonesia, dan Komisi Perlindungan Saksi dan Korban.
Disebutkan bahwa kedatangan Hussein adalah atas undangan pemerintah Indonesia. Kedatangannya kali ini dianggap strategis karena dikaitkan dengan upaya Indonesia memperingati 70 tahun Deklarasi Universal HAM PBB dan 25 tahun Deklarasi Wina dan Program Aksi (VDPA), serta 25 tahun Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Lebih jauh, Kemenlu RI akan menyelenggarakan seminar HAM regional bertema peringatan Deklarasi Universal HAM PBB dan VDPA pada 5 Februari 2018 di Kemenlu yang mengundang perwakilan negara asing di Jakarta. Hussein akan turut berbicara pada seminar tersebut.
Zeid Ra`ad Al Hussein menjabat sebagai Komisioner HAM PBB sejak 1 September 2014, setelah penunjukannya disetujui pada Sidang Majelis Umum PBB pada 16 Juni 2014.
Al Hussein adalah Komisioner HAM PBB keenam yang mewakil keturunan Asia, serta Muslim dan Arab pertama untuk jabatan tersebut.
Al Hussein pernah menyampaikan surat kepada Menlu RI pada 2016 terkait pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, yang menjadi hukum positif di Indonesia.
Dalam pembukaan Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-29 tahun 2015, ia juga menyampaikan perhatian mengenai kondisi di Papua dan mendorong penyelesaian masalah yang ada melalui rekonsiliasi dan dialog dengan warga Papua.
Ini merupakan kunjungan komisioner HAM PBB ketiga kalinya ke Indonesia, setelah pada 2012 saat dijabat Navi Pillay, kemudian kedatangan Marry Robinson.
Secara khusus Yan Christian menyebut tiga kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat di Tanah Papua yang hingga saat ini belum terungkap. Yaitu Kasus Wasior 2001, Kasus Wamena 2003 dan Kasus Paniai 2014. "Tidak satupun yang diselesaikan oleh negara melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hingga ke pengadilan yang adil dan fair," kata dia.
"Sebagai advokat dan pembela HAM di Tanah Papua, saya sangat menyesalkan tindakan pembatasan akses yang kami duga keras telah dilakukan oleh pemerintaha, sehingga anggota Komisi Tinggi HAM PBB tersebut sama sekali tidak bisa datang ke Tanah Papua," ia berkata dalam siaran pers yang diterima oleh satuharapan.com.
Padahal, kata dia, laporan-laporan yang sudah diterima baik oleh Komisi Tinggi HAM PBB maupun Dewan HAM PBB selama 5 (lima) tahun terakhir ini justru berasal dari berbagai organisasi non pemerintah (LSM) HAM serta organisasi keagamanaan (gereja-gereja) yang ada di Tanah Papua.
Ini, kata dia, penting menjadi catatan bagi lembaga-lembaga hak asasi manusia di Tanah Papua dan dunia untuk memberikan kritik dan pandangan kedua (second opinion) kepada Komisi Tinggi HAM dan Dewan HAM PBB di Jenewa-Swiss.
Sementara itu Kementerian Luar Negeri menegaskan misi kunjungan Zeid Ra`ad Al Hussein ke Indonesia bukan untuk pemantauan pelaksanaan HAM di Indonesia.
"Kunjungan ini bukan dalam rangka misi pemantauan, tapi lebih pada kerja sama pada masalah HAM global," kata Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kemenlu Dicky Komar di Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Jakarta, Selasa.
Al Hussein akan tiba di Jakarta pada Minggu sore (4/2) sore. Ia dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri, di antaranya Menteri Luar Negeri, Menteri Agama, Kapolri, Kejaksaan Agung, Menteri Koordinator Maritim, serta Komisi III DPR. Ia juga diagendakan melakukan pertemuan dengan Komnas HAM RI, Komnas perempuan, Komisi perlindungan anak Indonesia, dan Komisi Perlindungan Saksi dan Korban.
Disebutkan bahwa kedatangan Hussein adalah atas undangan pemerintah Indonesia. Kedatangannya kali ini dianggap strategis karena dikaitkan dengan upaya Indonesia memperingati 70 tahun Deklarasi Universal HAM PBB dan 25 tahun Deklarasi Wina dan Program Aksi (VDPA), serta 25 tahun Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Lebih jauh, Kemenlu RI akan menyelenggarakan seminar HAM regional bertema peringatan Deklarasi Universal HAM PBB dan VDPA pada 5 Februari 2018 di Kemenlu yang mengundang perwakilan negara asing di Jakarta. Hussein akan turut berbicara pada seminar tersebut.
Zeid Ra`ad Al Hussein menjabat sebagai Komisioner HAM PBB sejak 1 September 2014, setelah penunjukannya disetujui pada Sidang Majelis Umum PBB pada 16 Juni 2014.
Al Hussein adalah Komisioner HAM PBB keenam yang mewakil keturunan Asia, serta Muslim dan Arab pertama untuk jabatan tersebut.
Al Hussein pernah menyampaikan surat kepada Menlu RI pada 2016 terkait pelaksanaan hukuman mati di Indonesia, yang menjadi hukum positif di Indonesia.
Dalam pembukaan Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-29 tahun 2015, ia juga menyampaikan perhatian mengenai kondisi di Papua dan mendorong penyelesaian masalah yang ada melalui rekonsiliasi dan dialog dengan warga Papua.
Ini merupakan kunjungan komisioner HAM PBB ketiga kalinya ke Indonesia, setelah pada 2012 saat dijabat Navi Pillay, kemudian kedatangan Marry Robinson.
Copyright ©Satu Harapan "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar