Alexander Jacob Patty (foto jossy l) |
Satu pekan sebelum meninggalkan Palembang menuju Ruteng, A. J. Patty menulis sepucuk surat kepada rakyat Palembang. Surat itu dikirim ke Koran Persatuan Indonesia. Koran itu baru memuat surat .A. J. Patty pada tanggal 10 Agustus 1930. Ketika orang membaca surat A. J. Patty, barulah mereka kaget sang tokoh sudah berlayar jauh.
A. J. Patty meninggalkan Palembang sepuluh hari lalu, yakni 30 Juli 1930. Sekalipun demikian, rencana Belanda mengasingkan pendiri PNI di Palembang itu sudah diketahui banyak orang. Mereka bahkan mengumpulkan uang untuk A. J. Patty yang memang mengalami kesulitan keuangan.
Orang Palembang melepas kepergian A. J. Patty dengan berat hati dan tentu saja getir. Dua tahun tujuh bulan berjuang bersama, lantas di tengah gemuruh konsolidasi, Belanda main kuasa dengan mencabut A.J. Patty dari akar perjuangan bersama rakyat.
Meski pedih, A. J. Patty tidak menampakkannya dalam surat. Justru surat itu tersusun dengan kata-kata pilihan nan optimis, membangun harapan, dan tentu dalam visi besar Indonesia Raya.
Dalam suratnya, A. J. Patty mengaku terpaksa meninggalkan Palembang karena ditentukan oleh “yang berkuasa pada masa ini”. Frasa dalam tanda petik ini bagai memberi isyarat kepada para pejuang, bahwa “yang berkuasa pada masa ini” akan segera berakhir. Sebuah sinisme yang kelak t.erbukti.
Perpisahan pada masa perjuangan seperti itu, nampak memang tidak perlu ditangisi. A. J. Patty menguatkan mental Rakyat dengan menggunakan kata “badan” dan “roh”.
“Percayalah! Biar bercerai cara “badan”, tetapi dalam “roch”, tetap tinggal tetap berdiri perhubungan kita, yang indah mulia,” tulis A. JPatty.
SURAT
Berikut ini adalah salinan satu lembar “Selamat Tinggal” yang diketik A. J. Patty sebagaima ditemukan dalam arsip warung data:
"Selamat Tinggal"
Selamat tinggal saya ucapkan kepada Palembang umumnya, teristimewa kepada kaum nasional seanteronya, kaum nasional yang telah mempersatukan di lahir batinnya di dalam P.N.I. terlebih-lebih.
Hari Rabu, tanggal 30 Juli depan, saya akan bertolak dari Palembang, yang sudah menempatkan saya 2 tahun 7 bulan lamanya, menuju ke Ruteng, tempat kediaman baru, yang ditentukan oleh yang berkuasa pada masa ini.
Terpaksa saya meninggalkan Palembang sebenarnya. Maklumlah hasil pekerjaan untuk Rakyat belum seperti dikehendaki. Tetapi biarpun demikian, benih yang sudah ditaburi, telah memperlihatkan tunas-tunas yang berwarna hijau, ramai di sini-sana. Sedang yang lebih menyenangkan hati ialah adanya beberapa pengurus kebun yang bisa menjaga apa yang ditinggalkan. Pada masa mereka ini, ada pengharapan, bahwa pekerjaan yang tak diselesaikan itu, akan diteruskan.
Selain dari pada ini, keyakinanku, bahwa kemajuan itulah kehendak alam, dapat meneguhkan pengharapanku di atas ini, bahwa usaha yang telah dijalankan kelak akan menimbulkan hasil yang berharga.
Selamat tinggal Palembang!
Terima kasih Palembang yang telah menerima saya sebagai pegawai Rakyat, dengan penuh symphatie!
Percayalah, biarpun bercerai cara “badan”, tetapi dalam “roch”, tetap tinggal tetap berdiri perhubungan kita, yang indah mulia. Satu perhubungan yang tidak berdasar lain, melainkan bekerja untuk mencapai Indonesia Raya!
Akhirnya mudah-mudahan pengasihan Allah adalah padaku buat meneruskan pekerjaanku bagi Bangsa dan Nusa....... di tempat mana juga pun.
(rudi fofid/warungarsip dan berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar