Ilustrasi, gambar aksi peringatan pelanggaran HAM di tanah Papua. |
Hingga 6 Oktober 2018, Wamena Berdarah (Kabupaten Jayawijaya), sudah mencapai usia 18 tahun. Peristiwa ini sudah cukup lama. Namun sulit sekali untuk dilupakan. Karena kesedihan, amarah, emosi, trauma dan lain sebagainya yang pernah terbangun belum terobati baik.
Selama luka belum sembuh dan derita belum hilang, selama itu pula orang akan ingat. Bayi sekalipun akan bercerita. Lihat saja kisah Bertha berikut:
Bertha lahir di sebuah kampung di pinggiran kota. Dia lahir pada 31 Agustus 1998. Saat itu Bertha berusia 1,5 tahun. Waktu itu Bertha masih kecil. Bahkan belum sekolah.
Sekarang Bertha berada di bangku kuliah. Kini ia sudah semester IV di salah satu perguruan tinggi di Jayapura.
Pada tahun ini wanita cantik itu beranjak 20 tahun. Usia Bertha dengan peristiwa berdarah itu hanya selisih dua tahun.
Dia tinggal dengan orang tua di kampung halaman. Kampungnya dalam bahasa Wamena disebut O Alepma. Dari Polres Jayawijaya berjarak 2 kilometer. Sementara itu, untuk jarak tempuh menggunakan kendaraan ± 15 menit.
Kampung Bertha terletak di kota. Secara administrasi pemerintahan, O Alepma masuk di distrik Wamena Kota.
Bertha memiliki kisah tersendiri dari Wamena Berdarah. Ia mengalami peristiwa itu waktu kecil. Meski tidak bisa mengandalkan mata pada waktu itu, ingatannya terhadap peristiwa tragis itu tidak dapat lagi diremehkan. Ingatanya patut diakui dan apresiasi.
Mengapa? Karena ia mewakili teman-teman yang seumuran dengan dia bisa mengingatnya sampai sekarang. Bukan untuk sekarang saja.
“Memang sering kali sa dikenal anak yang suka lupa sesuatu. Apalagi kejadian lama itu sangat sulit bagi sa untuk ingat selalu. Namun untuk Wamena Berdarah tidak. Peristiwa ini tidak akan pernah membuat sa lupa. Kamu bisa lihat sa hari ini. Sampai sa usia 20 tahun ini masih ingat baik. Sampai kapan pun tra akan lupa. Kecuali sa meninggal dunia," ujarnya pada suatu kesempatan di sebuah rumah kos di Kota Jayapura.
Ketika peristiwa itu pecah di pagi hari, mamanya membawa dia lari ke hutan. Tapi bukan Bertha dengan mamanya saja. Tetangga sekitarnya pun ikut lari.
Mereka mengikuti jalan setapak. Jarak dari rumah ke Hulikma sekitar 5 kilometer. Selama tiga hari mereka sembunyi di Huliakma. Tinggal tanpa bekal makanan dan minuman. Pakaian dan alat tidur pun terbatas. Tidur bangun dengan angin Kurima, hujan dan panas.
Tidak hanya itu, tidur dan bangun dengan kondisi yang amat kritis. Sampai tiga hari itu benar-benar membuat masyarakat setempat kelaparan.
Anak-anak pada waktu itu mengalami kesakitan. Untuk situasi di pusat kota kembali kondusif. Kalau tidak masyarakat di wilayah itu bisa bernasib buruk. Bertha pun hampir diserang oleh penyakit. Namun kondisinya tak separah peristiwa naas itu.
Wanita yang suka senyum ini meneritakan semuanya. Ingatannya dapat diasah oleh sang ibunda. Ibunya sudah menceriterakan kembali padanya.
Bahwa saat itu Bertha merasakan peristiwa itu sewaktu bayi. Bahkan dia sendiri melihat dan merasakan. Bertha pernah melihat ada orang yang sampai nekat bersembunyi di lumpur-lumpur. Hal itu mereka lakukan supaya tidak ketahuan.
“Sa pu mama pernah cerita. Kita masih bayi baru mama dong gendong kita baru bawa lari. Saat itu sa umur 1,5 tahun. Mama bawah kita ke hutan-hutan. Sembunyi dalam hutan lebat. Sebagian sembunyi di lumpur-lumpur di hutan Huliakma. Mama bilang sembunyi seperti itu supaya tidak ketahuan," ungkapnya di sebuah kos di Kota Jayapura, Senin (24/9/2018).
Mereka lari ke hutan karena ketakutan. Sampai aman baru pulang ke rumah. Tinggal di rumah juga tidak bebas. Tinggal dalam rasa takut yang tinggi.
Tapi juga tinggal dalam kesedihan. Karena ada keluarga yang mengalami tembakan dan kerugian besar.
Kenyataan itu membawa Bertha pada perasaan yang tinggi. Ia mengaku tidak menerima peristiwa Wamena Berdarah itu. Akhirnya, wanita bungsu dari tiga bersaudara itu berterima kasih kepada sang ibunda dan ayahanda.
Hal itu ia sampaikan dengan penuh senyuman. Tapi juga dengan perasaan sedih yang mendalam. Syukur saja lantai di kos itu tidak dibanjiri dengan air mata Bertha yang manis.
“Mendengar dan mengingat cerita itu banyak hal yang sa rasakan. Ada rasa sedih dan terharu. Ada emosi atau ganas kepada aparat dan militer yang melahirkan tekanan saat itu. Namun sa harus ucapkan terima kasih kepada Mama dan Bapa. Karena mereka dapat selamatkan saya dari bahaya saat itu. Namun sampai kapan pun tra akan lupa. Karena Wamena Berdarah itu menelawan banyak orang pribumi”, demikian tuturnya. (*)
Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Cabang Jayapura, Papua
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar