Minggu, 15 April 2018

Rapper Ipi Pormes Kini Hidup Dalam Puisi

Detik Nusa
Penampilan terakhir Ipi Pormes bersama Boi Akih, November 2013 (SaveAru) 
Siapa penyanyi rap di Maluku yang anda suka? Beberapa seniman muda Ambon menyodorkan nama rapper idola mereka.  Dari puluhan nama yang muncul,  ada satu nama yang disebut empat kali yakni rapper Nixon Flip Pormes alias Ipi. Nama Ipi imunculkan oleh  Marvin Laurens (drummer), Alberto Boudewijn Ufie (rapper),  David Rampisela (musisi/vokalis),  dan Argon X (rapper).

Sebagian orang mungkin tidak pernah jumpa secara fisik dengan Ipi, sebab ia telah berpulang lima tahun lalu, yakni 27 Desember 2013.  Bagi kalangan yang dekat dengannya, Ipi adalah rapper muda paling eksotis di komunitas Molukka Hiphop Community (MHC).  Dialah pencair kebekuan dalam setiap kesempatan. 

Musisi David Rampisela mengaku tidak terlalu lama mengenal Ipi,  akan  tetapi dalam masa yang sangat singkat itu, relasinya dengan Ipi sangat dekat.

“Ipi itu di atas panggung sebagai seniman atau di luar sebagai sahabat adalah orang yang penuh semangat dan cahaya. Betul sudah, Ipi itu api,”  ungkap Rampisela.

Ipi memang laksana api.  Rapper Alberto Boudewijn Ufie senada dengan Rampisela.   Menurut Boudewijn, kekuatan Ipi antara lain juga terdapat pada lirik-lirik yang ditulisnya.

“Liriknya menyala macam api,” papar Boudewijn.

Drummer Marvin Laures punya kesan bahwa Ipi dan Hendry Tetelepta adalah duet tangguh.  Keduanya disebut punya flow yang enak dan menyajikan lirik-lirik khas pantun Ambon.

"Kusu maraya labu, orang luhu memotong kayu, muka busu jang balagu, su macam kes di ujung kayu," begitulah lirik yang diingat Marvin sebagaimana dinyanyikan Ipi  dalam lagu Mama Lole.

Rapper Argon X juga punya kesan yang kuat tentang Ipi.  Menurut dia, Ipi adalah seorang rapper paling sedap.  Sayang sekali, Argon menyesal kebersamaan dengan Ipi terlalu singkat.

“Ipi terlalu sedap cuma terlalu cepat pergi,” katanya.

Ipi memang terlalu cepat pergi, justru dia baru saja menikah dan bayinya baru usia beberapa hari.  Satu bulan sebelumnya, Ipi tampil di panggung bersama MHC dan Boi Akih dalam konser Save Aru di Taman Pattimura, Ambon.  Monica Akihary sebagai vokalis sedangkan Ipi menjadi rapper terakhir setelah Revelino Berry, Hayaka Nendissa, dan Hendry Tetelepta. 

“Hati keras batu, tuan seperti serdadu
Tuan orang nomor satu, kami dibuat biji dadu
Laju Tuan maju, maju jual suku 
Uang dalam saku, kami menjadi abu
Kami menjadi kutu, hidup di ujung kuku
Apakah kami buta, ataukah tuan lupa
Jangan menutup mata, jangan palingkan muka”

Verse yang disampaikan Ipi di atas cukup membakar para penonton. Tidak ada yang menyangka, verse akhir itulah sebagai performa Ipi yang terakhir kali.  Sebuah kecelakaan tunggal di jalan raya antara Passo dan Air besar, telah menghantar Ipi pergi untuk selama-lamanya.

Ipi Pormes dan Bing Leiwakabessy (foto rudi fofid)

HIDUP DALAM PUISI

Keluarga besar TNS terutama dari Negeri Jerili, komunitas hiphop Maluku terutama MHC, sangat kehilangan besar.  Semua berkabung mengantar Ipi ke tanah pemakaman di Lateri. Sebelum jenazah diantar ke tanah makan, Penyair Wirol Haurissa membacakan sebuah puisi berjudul “Episode Ipi Pormes” (Rudi Fofid) yang ditulis di Tual, 27 Desember 2017.

Rudi Fofid 
EPISODE IPI PORMES 

Morika, coba katakan secara sederhana
Hayaka, coba ceritakan saja apa adanya
Apa itu Maluku, apa itu Ipi

Ipi tentulah bukan rimbun rimba
Dia hanya nyong badan ramping
Bahkan nyaris tulang kerempeng

Ipi tentulah bukan lautan tertutup
Dia hanya membiarkan liur basa bibir
Supaya kata melancar di sungai lirik

Ipi tentulah bukan kapitan Serua
Tapi dia punya suara paling berombak
Dia punya mata juga paling tombak

Morika, coba katakan secara sederhana
Hayaka, ceritakan saja apa adanya
Apa itu Maluku, apa itu Ipi

Ah, Morika dan Hayaka sudah mati puritan
Maka jangan harap mereka bisa menjawab
Apa itu Maluku, apa itu Ipi

Maka sebaliknya kita kembali ke rumah manis pait
Melihat tulisan-tulisan tak selesai di kertas keriput
Soal sejarah, kenangan, obsesi, ambisi dan syahwat

Aku tak tahu kita ini sedang ke gunung atau ke lurah
Tapi aku tahu, Ipi cinta tanah dan tanah cinta Ipi
Buktinya, dia biarkan senyumnya berdarah di tanah

Maka bertahun-tahun kita tertawa, itu tertawa apa?
Apa itu Maluku, hanya Morika, Hayaka dan Tuhan tahu
Tapi aku tahu, apa itu Ipi? Sapa itu Ipi? Ipi itu api!

Tual, 27 Desember 2013

Ipi itu memanglah api, sebagaimana kesan David Rampisella dan Bodwijn Ufie.  Pada tanggal yang sama, penyair weslly Johannes berada di Makatian,  MTB sebab sedang menjalani masa vikaris di sana.  Dari Makatian,  Weslly pun menulis puisi sebagai pengganti dirinya yang tiada hadir dalam upacara  pemakaman.

Weslly Johannes
ADIOS

: Nixon Flip Pormes 

Di halaman, daun-daun muda gugur.
Kuncup-kuncup masih terkatup, di tanah membujur.
Untuk yang mekar sebentar saja namun sungguh,
manusia dan bunga-bunga dengan segenap kelopaknya yang rapuh:
“Kesementaraan kita bukanlah sia-sia.”

Makatian, 27 Desember 2013

Kesementaraan kita bukanlah sia-sia.  Weslly Johannes menggambarkan Ipi yang mati muda bukanlah berarti semacam kegagalan.  Ipi telah pergi namun lebih dulu meninggalkan jejaknya yang penuh arti.   Ipi sebagaimana larik ketiga puisi Adios, digambarkan Weslly sebagai “mekar sebentar saja namun sungguh”.   Ipi memang sangat-sangat rileks dalam keseharian, namun saat menulis, latihan, rekaman atau di panggung, Ipi selalu sungguh-sungguh.

Sebulan setelah kepergian Ipi, pada peringatan 40 hari, penyair Eko Saputra Poceratu juga menulis sebuah puisi untuk Ipi. 

Eko Saputra Poceratu
TEMPO INI; BILA ABU BICARA

Untuk Bung Ipi Pormes

Tempo ini
Tentu sepi jadi harga mati
Ketika rindu membumbung tinggi untuk Ipi
Tempo ini
Ada hymne yang gugur 
Dari pelepah air mata yang mengucur
Tempo ini
Semestinya
Seharusnya
Ada paduan musik indah menyapa satu laki laki gagah yang berdiri di depan Pattimura
Menyanyikan Hena Masa Waya
Dengan lenso melingkar dada
dan orang Maluku ingat siapa dia
Tempo ini
Semestinya
Seharusnya
Ada pesta laki-laki dan perempuan
Menari sepanjang jalan
Menginjak keras tanah dengan kaki telanjang
Menyapa laki-laki gagah
dan bilang “Beta Maluku” adalah nyawa
Tempo ini
Penuaian rindu sudah jadi hidup
Sebab laki-laki gagah masih berdiri di nadi
Di dalam tanah bukan hanya batu-batu
Di dalam sana bukan hanya pasir
Di dalam tanah bukan hanya air keruh
Di dalam sana ada abu yang punya nafas baru
Tergambar jelas; bahwa Ipi sedang bikin lagu untuk Maluku
Bila abu bisa bicara
Barangkali dia akan gemetar
Barangkali abu akan mengental
Membentuk satu kepal dan mengangkatnya ke langit lepas
Lalu berteriak keras, bahwa ada nyawa yang membentuk satu pasukan untuk melawan ketidakadilan
bahwa ada satu laki-laki gagah yang memimpin ribuan pasukan untuk memperjuangkan perdamaian
Bila abu bisa bicara
Dia akan jujur berkata
Bahwa tiada hidup yang sia-sia
atau mati sia-sia
Tiada hidup berputus asa
atau mati tinggal nama
Sebab ada satu laki-laki gagah yang hidup di antara kematian yang bilang orang-orang Maluku harus hidup dalam perjuangan
Sebab ada satu laki-laki gagah yang bernyanyi di antara ketiadaan bahwa orang-orang Maluku mesti hidup dalam perjuangan
Bila abu bisa bicara
Dia akan bilang
“Ini beta Ipi”
Mati bukan akhir
Mati bukan pergi
Mati adalah alasan untuk hidup kembali

Ambon, 5 Februari 2014

Dalam kesamaan imajinasi dan penggambaran yang senada, Eko seperti halnya Weslly menganggap kepergian Ipi  tidaklah sia-sia.  Eko menyebutkan “Bila abu bisa bicara/ Dia akan jujur berkata/ Bahwa tiada hidup yang sia-sia/atau mati sia-sia”.  Ya, abu bicara.  Abu itulah Ipi.  Eko menutup puisinya dengan penuh optimis. “Ini beta Ipi”/ Mati bukan akhir/ Mati bukan pergi/ Mati adalah alasan untuk hidup kembali".

Morika Tetelepta, orang paling dekat dengan Ipi.   Dialah yang mengajak Ipi bergabung di dalam komunitas MHC.  Sebagai sahabat dan terutama keluarga, Morika jualah yang paling merasa kehilangan.  Bila tiga puisi di atas ditulis penyairnya berdekatan dengan hari kematian Ipi, maka Morika justru baru menumpahkan pengalaman batinnya bulan Maret 2016, dan baru dirilis melalui blog pribadi persis peringatan hari kematian Ipi, 27 Desember 2016..

Morika Tetelepta
HYPOLIGHT; UNTUK FLIP NIXON PORMES

rue legendre, lima hari menjelang akhir tahun. aku menapaki batu-batu bata. kata-kata adalah piala. menyala pada satu musim dingin yang paling keparat. bajingan, aku begitu jauh dari rumah.

menyusur cimetière du montparnasse. pohon-pohon bergugur daun. patung-patung yang sendiri di depan nisan. aku bilang pada tuhan “aku tak ingin mati di sini”. di depan pualam Sartre, pucuk-pucuk senjata terisi. satu kalimat kucatat di lembar tiket metro sekali pakai, “tubuh yang mati adalah oase”. 

sementara itu di satu ruang dan waktu yang tak kuketahui, satu proyektil meledak pergi. satu tawa sudah pergi, satu nyawa sudah pergi. di maluku, satu anak jerili rebah, tidak bangun-bangun lagi.

setiap pagi, setiap hari. rindu adalah jumpa yang berlari. perindu adalah pelari. penari yang menarikan sepi. pengembara yang meletakkan sabda pada bara. meniupkan  mantra yang mengobarkan api meski selalu ada tapi yang terus diratapi. 

sunyi. entah air mata atau salju yang meleleh di bawah mataku. oh, kukutuki peron, rel-rel, dan kereta yang membawaku pergi ke ujung paling utara. sebab akulah yang harus memikul petimu menuju pekuburan. menaburi bunga-bunga atau puisi atau kenangan sepanjang jalan. ambon, jakarta, seram, bekasi. terima kasih untuk sekian banyak hal yang mana aku belum sempat berujar, terima kasih.

“beta, rindu, ale, nyong”

teluk ambon, 12 maret 2016

Puisi Hypolight; Untuk Ipi Pormes ditulis di Teluk Ambon, tiga tahun setelah kepergian Ipi.  Namun bila mencarmati puisi Morika, suasana puisi ini bukan di Teluk Ambon.  Ruang imajinasinya adalah Eropa dan musim salju.  Kebekuan Desember di Eropa, kesedihan di tanah Ambon  tersambung di sini. Jiwa sang penyair berontak.  Ketika proyektil meledak, satu anak jerili rebah, tidak bangun-bangun lagi. kukutuki peron, rel-rel, dan kereta yang membawaku pergi ke ujung paling utara. sebab akulah yang harus memikul petimu menuju pekuburan.  Inilah kedekatan personal Morika dan Ipi.

Oh Ipi sudah lama pergi dan tidak pernah kembali, namun sebagaimana ungkapan “Ipi itu api”, dia telah hidup dalam lirik yang dia tulis sendiri.  Demikian  pula empat judul puisi yang ditulis oleh  empat penyair di tempat dan waktu berbeda, telah membuat Ipi tetap hidup.  Ipi itu api, dia hidup dalam puisi. (rudi fofid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar