Selasa, 12 Maret 2019

FIM Peringati Hari Perempuan Internasional dengan Diskusi

Detik Nusa
FIM Peringati Hari Perempuan Internasional dengan Diskusi
Foto bersama perempuan Papua di Manokwari usai Diskusi – Dok. FIM
Jayapura -- Forum Mahasiswa Independen Manokwari memperingati Hari Perempuan Internasional dengan menggelar diskusi tentang penindasan yang dialami perempuan Papua, Minggu (10/3/2019). Diskusi itu digelar sebagai refleksi atas situasi perempuan di Papua yang masih kerap menjadi korban kekerasan dan kesulitan mendapatkan pelayanan pendidikan atau kesehatan.

Ketua Forum Independen Mahasiswa (FIM) Manokwari, Arnold Halitopo, menyatakan peringatan Hari Perempuan Internasional itu menjadi momentum untuk merefleksikan kembali kondisi kaum perempuan di Papua. Halitopo menyatakan penindasan terhadap perempuan di Papua terus terjadi karena perempuan tidak mendapat akses pendidikan yang memadai, sehingga tidak memiliki pengetahuan atau keahlian untuk bisa mandiri.

Akibatnya, praktik diskriminasi terhadap perempuan Papua terus berlanjut. Halitopo mengharapkan diskusi pada Minggu itu membangkitkan semangat para perempuan muda Papua untuk memperbaiki situasi kaumnya.

“Penindasan yang di alami oleh perempuan Papua adalah diskriminasi yang terus berlanjut hingga sekarang. Kami berharap diskusi itu membangkitkan semangat perempuan Papua agar revolusioner dalam berbagai bidang,” kata Halitopo di Manokwari, Minggu.

Halitopo menyatakan FIM meminta pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat segera menghentikan program Keluarga Berencana (KB) bagi orang asli Papua. Program itu dianggap tidak sesuai dengan kondisi di Papua.

Halitopo mengibaratkan program KB seperti sebuah cara membunuh orang asli Papua secara tidak langsung. “Program Keluarga Berencana itu seperti upaya untuk membunuh orang asli Papua secara tidak langsung. Kami meminta Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat segera membuat Peraturan Daerah Khusus untuk memproteksi orang asli Papua,” kata Halitopo.

Program KB merupakan isu yang sensitif di Papua, karena dianggap sebagai upaya untuk membatasi populasi orang asli Papua. Sebagian orang asli Papua tidak menerima KB sebagai bagian dari hak perempuan untuk mengatur jarak kehamilan agar para perempuan dan anak mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Salah satu peserta diskusi itu, Lena, menyatakan Hari Perempuan Internasional harus menjadi momentum kebangkitan perempuan di Papua untuk melawan diskriminasi yang mereka alami. Lena juga menyatakan Hari Perempuan Internasional harus menjadi momentum menghentikan kekerasan terhadap perempuan Papua, temasuk pemerkosaan, pembunuhan, dan penganiayaan.

Secara terpisah dan di luar forum diskusi aktivis perempuan Ruth Ogetay juga secara tegas menolak program KB. “Saya sebagai perempuan Papua dengan keras menolak program KB yang memakai jargon Pemerintah Indonesia yang menyatakan dua anak saja cukup,” kata Ogetay.

Ogetay menyatakan program itu sebaiknya hanya diberlakukan bagi orang Indonesia. “Di Papua, kami melihat perempuan Papua melahirkan anak, ketika anak itu menjadi remaja dan dewasa selalu dibunuh dalam rangkaian kekerasan yang berulang di Papua. Jika perempuan Papua tidak melahirkan anak lebih dari 5 anak, lalu tanah papua yang besar itu untuk siapa? Apakah untuk orang luar yang datang memenuhi tanah negeri surga West Papua,” katanya.(*)


Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar