Goa binsari Biak, eks basis tentara Jepang pimpinan Kol Kuzume Naoyuki. |
Bukan hanya itu saja, ada seorang warga kampung yang menemukan senjata dan kemudian menentengnya pulang. Setiba di rumah ia memulai mengutak-atik pelatuk, dan tiba-tiba senjata memuntahkan peluru sisa hinggga meletus. Akibatnya seorang nenek tertembus timah panas dan kehilangan nyawa. Warga kampung panik dan berhamburan sembunyi di mulut goa. Goa-goa itu kemudian digunakan tentara Jepang sebagai basis pertahanan mereka selama Perang Pasifik di Biak.
Herman Womsiwor warga Biak dari Pulau Numfor, ikut pula bergabung seorang diri bersama tentara sekutu Amerika Serikat berkulit hitam alias Black American soldier. Setiba di Manila mendiang Herman Womsiwor nyaris ditahan oleh MP (Military Police), beruntung ia bisa ikut bertempur sampai ke Tokyo. Selama di Jepang Womsiwor sempat belajar ekonomi dan kembali ke Papua merintis koperasi Kobe Oser di Biak Numfor jaman Belanda.
Hollandia, ibukota Provinsi Papua sekarang Kota Jayapura juga memuat kisah tersendiri, mendiang Pdt Silas Chaay warga Kampung Kajoe Pulo menuturkan selama perang Pasifik mereka mengungsi ke kampong Ormu, sebab Kampung Kayu Batu, Kajoe Pulo telah menjadi basis tentara sekutu. Banyak dock-dock pelabuhan dibangun di Teluk Humbold Hollandia sebagai basis G atau Base G. (dibaca Beisji).
“Setelah perang usai kami kaget karena kebun-kebun dan dusun sagu sudah berubah menjadi kota, ada Army Post Office (APO) bekas ladang sudah jadi kantor Pos tentara sekutu,” kenang Pdt Silas Chaay ketika itu.
Hans Roberth Ohee (86 tahun) pensiunan BUMN Pertamina mengisahkan selama Perang Pasific di Kampung Asei, Sentani Timur warga lari bersembunyi di balik dusun sagu, karena pesawat tempur Amerika Serikat melepaskan banyak bom. Beruntung dalam lumpur dan lahan gambut palm sagu, bom-bom itu tidak meledak.
Pasalnya pada 19 April 1942 tentara Sekutu masuk ke Hollandia di Teluk Humboldbaay sekarang Teluk Yos Sudharso. Khususnya armada ke VIII dan IX Jepang di Pasific sudah lebih dahulu membangun pangkalan mereka. Jepang membangun bandara Sentani,namun saat itu pula dihancurkan oleh tentara sekutu. Ratusan pesawat Jepang hancur lebur pada 22 April 1944 di bandara udara Sentani sekarang.
Bagi orang Papua, Perang Dunia Kedua di Pasifik merupakan suatu periode baru yang sulit dan berat menimpa penghidupannya yang bebas menurut persekutuan dalam adatnya yang selama itu tetap ditaati dan dituruti.
“Saya jadi mandor Jepang mengawasi warga Biak untuk membangun bandara Mokmer sebagai pangkalan udara. Jika kami melawan sedikit sudah pasti akan kehilangan nyawa. Beruntung saya mencoba melindungi banyak warga saat itu,”kenang mendiang Tom Wospakrik tokoh pendidikan Papua mengenang kekerasan Jepang jaman Perang Pasifik di Biak Papua.
Pekerjaan dengan disiplin tentara harus diturut, perintah dan tindakan kerja paksa harus diterimanya. Tanah-tanah dan hak-hak adat harus diserahkan untuk dibuka pembangunan jalan raya, kota dan keperluan lainnya tanpa ganti rugi.
Mengumpulkan sagu dan hasil bumi lainnya guna menambah kebutuhan militer Jepang. Kebebasan bergerak mencari keperluan hidup tidak ada. Makin lama keperluan pribadi, keluarga menjadi kurang dan hal pakai sudah kembali pada keadaan busana yang alami.
Begitulah sekelumit kisah Perang Pasifik yang dikutip dari buku berjudul “Jayapura Ketika Perang Pasifik” yang ditulis Arnold Mampioper mantan HPB dan Bestuur Amtenar jaman Belanda. Jadi tak mengherankan kalau perang Pasifik juga meninggalkan sisa-sisa kekejaman yang membawa perubahan besar dari daerah yang tadinya tertutup menuju kebebasan dengan segala konsekwensinya.
Berbeda dengan perang Gualdacanal ibukota Honiara di Kepulauan Solomon yang banyak memakan korban jiwa antara tentara Sekutu Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat membangun pangkalan mereka di Bougainville/Kahili, Rabaul/New Britain dan membangun basis H di Finschaven, Lae Papua New Guinea. Sedangkan basis G atau pantai Base G sebagai basis tentara sekutu Amerika Serikat di Provinsi Papua.
(Baca ini: Perayaan Kemerdekaan Indonesia di Papua adalah Pembohongan Publik)
Selama perang Pasifik berkecamuk antara Amerika Serikat dan Jepang, hanya orang Melanesia dari Fiji yang banyak direkrut menjadi tentara dan bertempur melawan Jepang di Kepulauan Solomon. Pada 1943 sebanyak 6660 pemuda Melanesia dari Fiji dilatih dan dipersenjatai menjadi tentara membentuk” Pasific Regiment “serta bergabung dalam pasukan sekutu Amerika Serikat.
Amerika Serikat terlibat perang Pasific setelah 7 Desember 1941, Minggu pagi pukul 07.00 waktu Hawaii, Pearl Harbour dijatuhi bom. Akibatnya Hirosima harus menunggu serangan Armada Ketujuh. Bersamaan dengan itu Amerika Serikat membangun proyek rahasia yang dinamakan Manhattan District yang dilakukan secara rahasia di laboratorium terpencil di Los Alamos New Mexico dibawah pimpinan Jenderal Leslie R Groves yang kemudian menunjuk fisikawan teori kenamaan Amerika Serikat J Roberth Opphenheimer (1904-1967) dari Universitas California Berkeley sebagai direkturnya. Demikian dikutip dari buku berjudul ” Dari Atomos Hingga Quark,” oleh Hans J Wospakrik, fisikawan Papua.
Uji coba bom atom hasil karya project Manhattan pertama kali melakukan uji coba pada 16 Juli 1945 ledakan pada jam 5.30 pagi sangat luar biasa dashsyatnya. Kekuatan ledakannya setara dengan 20.000 ton bom TNT (tri-nitro-toluena) dengan suhu dipusat ledakan dalam orde sepuluh juta derajat celcius, setara dengan suhu di dalam pusat matahari.
Selanjutnya pesawat pembon B 29 Amerika Serikat menjatuhkan bom Hirosima pada 6 Agustus 1945. Ini adalah bom uranium (U). Tiga hari berikutnya 9 Agustus 1945 Amerika Serikat melepaskan bom Plutonium (P) di kota Nagasaki hingga akhirnya Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945. Jadi orang Papua Melanesia ikut dilibatkan dari 1941 sampai dengan 1945 selama pertempuran sengit antara Sekutu dan Jepang.
Kekejaman di Goa Jepang
Kisah-kisah penghancuran Jepang selama mempertahankan gua-gua di Biak pernah pula ditulis secara dramatis oleh Kolonel Harold Riegelman, salah seorang pelaku sejarah yang bertempur di pihak Sekutu, lewat bukunya "The Cave of Biak.”Ada pula buku-buku lainnya tentang Perang Pasifik selama Perang Dunia II seperti “The Two Ocean War” karangan Samuel E Marison.
Buku-buku tentang Perang Pasifik di masa Perang Dunia II seperti "The Two Ocean War" karangan Samuel E. Marison, juga menyebut-nyebut kedahsyatan perebutan Biak yang sebenamya merupakan pulau karang di teluk Cenderawasih.
Selama pertempuran di Biak dipertahankan oleh 12.000 tentara Jepang yang merupakan Divisi ke 37 Jepang di bawah pimpinan Kolonel Kuzume. Ke 12.000 tentara itulah yang terbantai di bumi Biak.
Letjend Roberth L Eichelberger dalam bukunya berjudul “Jungle Road to Tokyo” menulis, ketika kami memasuki goa-goa itu aroma bau mayat yang menyengat menyambut kami. Rupanya peluru, granat, gasoline dan TNT melakukan tugasnya dengan baik.
Dalam goa Jepang di Biak tercatat sebanyak 250 serdadu Jepang mati setelah dijatuhi 850 pon TNT dan tentara Amerika Serikat menuangkan minyak ke dalamnya.Ledakan yang amat dashyat menghancurkan persembunyian pasukan Jepang.
Memang jumlah korban perang Pasifik di atas sangat kecil jika dibandingkan dengan seluruh perajurit yang tewas dalam ajang perang Pasifik. Penulis buku "Combat Pasific Theater"nya Don Congdon, ratusan ribu perajurit tewas dalam pertempuran "katak loncat" McArthur sejak Rabaul, Hollandia, Biak, Truk, Carolina, Yap, Guam, Saipan terus ke utara hingga Mariana dan Iwojima.
Lihat ini:
Hanya saja dalam buku-buku kisah Perang Pasific, jelas sangat kurang mengulas tentang kisah dan korban-korban masyarakat sipil khususnya di Papua dan wilayah Melanesia lainnya di Pasifik. Terutama ketidaktahuan mereka hingga korban gara-gara memegang granat hingga senjata berpeluru atau mungkin pula terkapar gara-gara serpihan bom akibat kekejaman perang Pasific.(*)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar