Kamis, 10 Mei 2018

Songsong referendum Bougainville 2019

Detik Nusa
Songsong referendum Bougainville 2019
Francis Ona tak berkeinginan memisahkan diri dari PNG, tetapi sebagai ahli waris dan generasi muda mereka tidak merasakan manfaat dari pertambangan di sana
Oleh : Dominggus A Mampioper

PERJUANGAN panjang bagi warga Bougainville menuju referendum 2019 bukanlah sebuah proses gampang dan cepat. Butuh ketabahan dan kesabaran hingga menelan banyak korban jiwa dan berdarah-darah. Inilah solusi terbaik bagi hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Bougainville melalui bilik untuk menyalurkan aspirasi mereka "satu orang satu suara" yang disebut referendum 2019.

Aktivis HAM dan non government organisation (NGO) di Pasifik Selatan sangat jarang membicarakan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Provinsi Solomon Utara, Bougainville, PNG. Bahkan suara dari Papua Barat dan referendum orang-orang Kanaki di Kaledonia Baru jauh lebih besar ketimbang negara tetangga sebelah di New Guinea Timur, PNG, provinsi otonom Solomon Utara.

Aktivis perempuan asal Bougainville, Mary Rouse Palei dari NGO di PNG, Melanesian Organisation Development, Lae Morobe Province, PNG kepada Jubi beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya bersama kaum perempuan Bougainville terus berjuang bagi masa depan masyarakat di Provinsi Solomon Utara demi suksesnya pelaksanaan secara damai referendum 2019.

"Terima kasih karena anda telah membicarakan dan menanyakan masalah kami di Bougainville," katanya kepada Jubi, seraya menambahkan mereka tak pernah mengenal menyerah dan terus menyambut perubahan demi perbaikan yang lebih baik, termasuk referendum 2019.

Mungkin Mary Rouse Palei tak sendiri, masih banyak lagi warga Bougainville dan kerabat mereka di negara tetangga Kepulauan Solomon. Tak heran ribuan warga dari Provinsi Utara Solomon menyambut baik keputusan politik yang diambil pemerintahan Perdana Menteri O'Neil, yakni referendum bagi warga Provinsi Solomon Utara dalam kerangka keragamanan budaya masyarakat Melanesia di PNG.

Memang benar perjuangan untuk memisahkan diri bagi rakyat Bougainville telah berlangsung lama sebelum kemerdekaan PNG, 16 September 1975. Banyak korban sudah berjatuhan hanya gara-gara ketidakpuasan dan ketidakadilan antara pemilik tanah di areal tambang Bougainville. Konflik tanah antara pemilik hingga ketidakpuasan pembagian hasil dengan perusahaan tambang asal Australia itu (BCL).

Pemisahan diri Bougainville

Sejak kemerdekaan PNG, masalah Bougainville terus bergulir, pertama sejak 1975-1976 dan kedua 1989 sampai sekarang yang berujung pada referendum Juni 2019. Tokoh-tokoh senior Bougainville seperti John Momis yang sekarang Presiden Bougainville sejak awal kemerdekaan PNG selalu memegang peran penting baik sebagai anggota parlemen provinsi maupun nasional. Bahkan zaman pemerintahaan PM Michael Somare Pastor John Momis pernah menduduki posisi Menteri Urusan Desentralisasi.

Sebenarnya benih-benih perpecahan antara PNG dan Bougainville dimulai pada 30 Mei 1975 saat Bougainville melakukan pemungutan suara untuk menentukan masa depan mereka. Pemungutan ini berlangsung karena tidak adanya kesepakatan dan negosiasi antara PM PNG Michael Somare dengan tokoh-tokoh pemisahan diri dari Bougainville di bawah pimpinan John Momis. Negosiasi ini dipicu karena peningkatan royalti provinsi yang ditarik melalui perpajakan yang dimodifikasi antara PNG dan Bougainville Copper Pty Ltd (BCL).

Konflik antara pemerintah PNG dan Bougainville terus bergejolak hingga akhirnya para pemimpin Bougainville menandatangani Bougainville Agreement 1976, menyatakan Provinsi Otonom Solomon Utara yang berada dalam negara PNG. Nama ini dipilih karena secara etnik orang-orang di Bougainville memiliki hubungan kekerabatan dengan negara Kepulauan Solomon di sebelah selatan.

Meskipun kesepakatan telah diambil antara kedua petinggi baik PNG maupun tokoh-tokoh provinsi Otonom Solomon Utara, upaya pemisahan diri terus bergejolak. Terutama ketika tampilnya tokoh-tokoh muda seperti Francis Ona dan Josep Kabui.

Konflik di sana mulai dipicu karena masalah tanah, para pemilik tanah yang tergabung dalam Pangguna Landowners Association (PLA) terpecah jadi dua antara lain, pertama kelompok pemilik tanah generasi tua yang memandang sebagai pemilik tanah. Padahal mereka kelompok kecil yang melakukan transaksi dengan BCL ketika masih beroperasi di Pangguna, Bougainville. Kelompok kedua adalah generasi muda Pangguna, sebagai kelompok terbesar dan ahli waris tanah tetapi tidak memperoleh keuntungan dari pertambangan di sana.

Francis Ona lahir pada 1953 dan meninggal pada 24 Juli 2005 seorang pemimpin pejuang Bougainville merdeka melawan PNG. Dia bersama pengikutnya khawatir tentang dampak lingkungan dan sosial dari operasi tambang Panguna oleh Bougainville Copper, anak perusahaan Rio Tinto Group. Pada 17 Mei 1990, Ona mendeklarasikan kemerdekaan Republik Me'ekamui, namun tidak diakui secara internasional. Mei 2004, Ona memproklamasikan dirinya sebagai "Raja Me'ekamui." Sementara menolak proses perdamaian dan pemilu 2005, Ona sebagian besar tinggal di tempat yang aman, di mana pasukan BRA-nya menguasai wilayah. Ona meninggal bukan saat perang tetapi karena malaria di kampungnya.

PLA Baru membuat sejumlah tuntutan, termasuk kompensasi moneter untuk dampak tambang, 50 persen bagian pendapatan tambang kepada pemilik lahan, dan pengalihan kepemilikan ke Bougainville.

Pemerintah PNG mengatur penyelidikan independen yang menolak klaim tentang dampak lingkungan tetapi kritis terhadap bagian lain dari operasi tambang. Sebagai tanggapan, Ona mendirikan Bougainville Revolutionary Army (BRA), yang melakukan banyak sabotase terhadap tambang termasuk penghancuran pasokan listrik tambang. Tambang ditutup oleh Bougainville Copper, Mei 1989. Ona menolak kesepakatan kompromi awal oleh Bougainville Copper dan pemerintah PNG.

Semula mendiang Francis Ona tak berkeinginan memisahkan diri dari PNG, tetapi sebagai ahli waris dan generasi muda mereka tidak merasakan manfaat dari pertambangan di sana. Sebaliknya BCL perusahaan tambang merasa sudah membayar hak dan royalti kepada mereka melalui generasi tua. Mereka menuntut agar BCL mengakui keberadaan NLE dan melakukan sabotase pertambangan di Pangguna, November 1988.

Tindakan Francis Ona jelas mendapat sambutan dan dukungan dari mayoritas generasi muda di Bougainville termasuk tokoh politisi provinsi Joseph Kabui. Saat terjadi sabotase, Kabui justru mempersalahkan perusahaan tambang asal Australia itu BCL, karena tidak memenuhi tuntutan Francis Ona dan kawan-kawan.

Kekerasan yang dilakukan tentara nasional PNG, semakin memperkeruh suasana sehingga Francis Ona memutuskan untuk berperang demi kemerdekaan Bougaiville. Apalagi saat itu militer PNG sangat brutal dan melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan dan diduga telah terjadi pemerkosaan. Kisah kekerasan Bougainville pernah diangkat dalam novel dan film berjudul Mr Pelp, seorang guru yang bertugas di Bougaiville.

Guna menghadapi kekerasan, Francis Ona selanjutnya membentuk sayap militer Bougainville (BRA) sepanjang April 1989-Februari 1990 terjadi perang antara tentara nasional PNG melawan BRA. Bahkan Francis Ona, April 1989, memproklamirkan kemerdekaan Bougainville dengan nama "Republik Bougainville."

Peperangan yang dilakukan BRA di bawah pimpinan Francis Ona berhasil menutup areal pertambangan di Pangguna dan 3.000 warga Australia plus 1.000 warga asing lainnya harus mengungsi dari pusat penambangan tembaga dan emas di Pangguna. Bahkan semasa pemerintahan Sir Julius Chan sempat menyewa tentara bayaran dari Inggris untuk menumpas kelompok pimpinan Francis Ona.

Referendum 2019

Memang keputusan bersama yang diambil antara para pemimpin Bougainville dan PNG menuju referendum 2019 sangat tepat guna menghindari kekerasan bersenjata yang merugikan semua pihak. Apalagi sebagai sesama negara Melanesia, baik PNG maupun Bougainville harus menunjukkan kebijakan sebagai bentuk rekonsiliasi dalam menyelesaikan masalah politik kemerdekaan bagi Bougainville.

Dalam pemberitaan EM TV PNG, Agustus 2017 pemerintahan PM O'Neil mulai membuka aktivitas perbankan dan ekonomi di Pangguna dan Buka di Bougainville. Bahkan Christina Tutunama perempuan pengusaha asal Bougainville sangat menyambut baik upaya pemerintahan O'Neil untuk membangun kembali aktivitas ekonomi dan perdagangan di Provinsi Solomon Utara. "Warga di Pangguna sudah kembali beraktifitas dan bertransaksi," kata Christina Tutunama sebagaimana disiarkan EM TV PNG belum lama ini.

Meskipun upaya referendum ini merupakan jalan terbaik, ada beberapa pengamat yang meragukan keseriusan PNG dalam menjalankan pemilihan bebas bagi masa depan Bougainville. Aktivis Lingkungan dan HAM Maureen Penjauli dari Fiji menyatakan pelaksanaan referendum sangat baik untuk penyelesaian masalah Bougainville tetapi keseriusan pemerintahan PNG penting untuk menguji keberhasilan pelaksanaan referendum bagi masa depan Bougainville, Juni 2019.

Menghadapi referendum Bougainville 2019, PM O'Neil dalam The Guardian edisi 1 Mei 2018 mengingatkan agar media asing tidak memperlakukan prospek Bougainville yang independen sebagai "mainan."

Daerah otonom di Provinsi Solomon Utara memiliki populasi sekitar 230.000 orang, PNG menandatangani perjanjian damai dengan Bougainville, tahun 2001 setelah perang sipil selama satu dasawarsa yang menutup tambang tembaga-emas Panguna raksasa.

Tak heran menghadapi referendum Bouaginville 2019, Perdana menteri, Peter O’Neill, menegaskan pemerintahnya akan menegakkan perjanjian dan berharap referendum dapat dilakukan dengan cara damai yang tidak mengganggu bisnis di pulau itu.

PM O'Neil memberikan prasyarat untuk referendum yang akan datang, termasuk pembentukan aturan hukum dan pembuangan senjata dan mengecam interverensi asing atas referendum. Pihaknya juga berjanji akan menegakkan perjanjian damai dan menegaskan anggota parlemen harus mendukung hasil.

"Ini bukan tentang kemerdekaan, ini tentang apa yang terbaik untuk orang-orang Bougainville," katanya kepada forum bisnis Australia-PNG kepada The Guardian.com di Brisbane.

Dia juga mengingatkan media Australia dan Selandia Baru yang sangat terobsesi dengan gagasan kemerdekaan - bagi mereka itu adalah beberapa mainan." Hasil pemungutan suara 2019 di Bougainville
harus didukung oleh parlemen nasional PNG. "Saya dapat menjamin Anda setiap anggota parlemen akan memilih untuk kepentingan negara yang bersatu dan harmonis," O'Neil. (*)

Penulis adalah Pemred Jubi


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar