Selasa, 15 Mei 2018

Piranti Budaya Sebagai Upaya Mereduksi Potensi Radikalisme Di Maluku

Detik Nusa
Beberapa hari lagi umat muslim akan memasuki bulan suci ramadhan, namun kita dihebohkan dengan insiden teror rumah tahanan cabang salemba di mako brimob dan insiden ledakan di tiga lokasi yaitu: 1. Gereja Katholik Santa Maria tak bercela-Ngamel, Surabaya 2. Gereja Kristen GKI Diponegoro, Surabaya 3. Gereja Kristen GPPD Arjuna, Surabaya (sumber: kumparan.com)
Oleh
Gani Bugis


Beberapa hari lagi umat muslim akan memasuki bulan suci ramadhan, namun kita dihebohkan dengan insiden teror rumah tahanan cabang salemba di mako brimob dan insiden ledakan di tiga lokasi yaitu:

1. Gereja Katholik Santa Maria tak bercela-Ngamel, Surabaya
2. Gereja Kristen GKI Diponegoro, Surabaya
3. Gereja Kristen GPPD Arjuna, Surabaya (sumber: kumparan.com)

Dari dua kejadian ini memang merobek persaudaraan yang selama ini kita jaga serta menambah rangkaian peristiwa teror di negara kita.

Menurut KBBI, Budaya berarti sebuah pemikiran adat istiadat atau akal budi,  secara tata bahasa arti dari kebudayaan diturunkan dari kata budaya dimana cenderung menunjuk kepada cara berpikir manusia.

Piranti Budaya yang dimaksudkan adalah berperannya para pemangku adat dalam hal ini tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan institusi yang berkaitan langsung harus bisa mengintervensi, memfilter, dan mengaplikasikan nilai-nilai kearifan dari budaya itu sendiri sehingga menjadi benteng bagi lajunya doktrin-doktrin jahat di Maluku.

Kita perlu memahami bahwa terorisme bukan kejahatan biasa, terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan kemanusiaan dan kejahatan lintas negara juga kejahatan terhadap ideologi negara. Patah satu tumbuh seribu, dengan semangat militansi tinggi para pelaku teror mempersepsikan simbol keagamaan melalui aksi suci jihad seperti tindakan anarkis atau bom bunuh diri yang sejatinya bukan ajaran agama islam atau agama apapun.

Salah satu dari faktor pencetus militansi yang turun temurun ini adalah tindakan tegas aparat keamanan yang diikuti oleh penanaman kebencian-inhate speech melalui jalur genetis. Sepanjang masih ada siklus ini, maka akan terus ada embrio bibit militan yang berupaya menyebarkan paham radikal anarkis.

Radikalisme adalah kualitas atau pernyataan atau prinsip atau doktrin politik atau perubahan sosial yang mengakar. Radikalisme juga diartikan sebagai orientasi politik kelompok yang menghendaki perubahan pemerintahan dan masyarakat secara revolusioner.

Secara sosiologis, radikalisme kerap kali muncul apabila terjadi banyak kontradiksi dalam tata sosial yang ada. Bila masyarakat yang mengalami anomali atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para masyarakat tidak mempunyai daya lagi untuk mengatasi kesenjangan itu, maka radikalisme dalam lapisan-lapisan masyarakat, terutama di kalangan anak muda.

Radikalisme muncul akibat berbagai sebab, baik yang berkaitan dengan konflik kepentingan, ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara, maupun yang berhubungan dengan upaya pemaksaan suatu gagasan atau ideologi negara dan pemerintahan.

Menurut Azyumardi Azra, sebelum periode modern umumnya penyebab radikalisme Islam bersifat internal, yaitu respon terhadap berbagai masalah inernal umat Islam seperti penyusutan entitas politik muslim secara drastis dan konflik diantara mereka.

Banyak umat muslim meyakini bahwa situasi yang memprihatinkan itu muncul akibat kerusakan moral sosial umat muslim sendiri yang merupakan dampak dari keyakinan dan praktek-praktek agama yang keliru dan mengabaikan ajaran Islam yang murni.

Akibatnya sebagian umat muslim lainnya memandang perlu untuk melakukan pembaruan atau reformasi tidak hanya dengan cara damai tetapi juga dengan kekerasan (radikal) yang menurut mereka dianggap efektif dengan mendeklarasikan perang terhadap umat muslim yang dipandang telah melewati batas.

Fenomena radikalisme telah melahirkan problem masyarakat, yaitu berupa gangguan terhadap perkembangan dan stabilitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, bahkan dapat menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman dalam kehidupan masyarakat luas. Di sisi lain, radikalisme mengakibatkan munculnya pandangan dari luar tentang Islam yang tidak toleran, anti demokrasi, tidak menghargai hak asasi manusia dan sebagainya.

Radikalisme di Maluku pada awalnya bermula sejak terjadinya konflik di Maluku pada tahun 1999, menurut sebagian orang merupakan konflik keagamaan antara Islam dan Kristen. Konflik tersebut merupakan rantai panjang dari adanya ketidakadilan dan marjinalisasi masyarakat akibat kebijakan pemerintah baik kolonial maupun republik.

Konflik di Maluku ini sangat menarik untuk dipelajari karena didalamnya terjadi berbagai hal yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut yaitu bukan hanya karena agama, tetapi juga karena perpolitikan, birokrasi, perekonomian yang menyebabkan kecemburuan sosial dan pada perkembangannya menyeret agama sehingga menimbulkan konflik besar yang berkepanjangan (Duriana. Studi Terhadap Idiologi Radikalisme Agama Pasca Konflik Maluku, Jurnal Fikratuna Vol. 8 No 2).

Kami tetap berupaya bisa bersinergi dengan institusi terkait untuk menterjemahkan bentuk-bentuk kearifan yang sarat nilai positif misalnya Pela Gandong di Ambon, Masohi di Maluku Tengah, Ain Ni Ain di Kei dsb, demi kokohnya peradaban Masyarakat Maluku yang lebih baik dan harmonis.


Penulis: Ketua GP Ansor Kota Ambon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar