Rabu, 09 Mei 2018

Bahasa Pedis-Pedis Politisi Rica-Rica

Detik Nusa
“A journalist is a grumbler, a censurer, a giver of advice, a regent of sovereigns and a tutor of nations.” (Seorang wartawan adalah penggerutu, pencela, penasihat, penguasa dan guru bangsa-bangsa).

Catatan oleh Rudi Fofid

“A journalist is a grumbler, a censurer, a giver of advice, a regent of sovereigns and a tutor of nations.” 
(Seorang wartawan adalah penggerutu, pencela, penasihat, penguasa dan guru bangsa-bangsa). 

Pendapat di atas dilontarkan Napoleon Bonaparte, sebagaimana dikutip dari buku Historical Guide to World Media Freedom: A Country-by-Country Analysis karya Jenifer Whitten-Woodring dan ‎Douglas A. Van Belle.  Napoleon mengutarakan hal itu untuk merespon kerja-kerja wartawan.

Hari-hari ini, bukan hanya wartawan yang penggerutu dan pencela. Banyak sekali orang muda cerewet tampil di permukaan ruang publik.  Periksa saja media sosial.  Ada banyak kecaman, maki, juga kibul. Banyak orang muda telah  menjadi politisi rica-rica di akun facebook, dan melancarkan suara dengan diksi pedis-pedis.

Mereka adalah para muda progresif di Maluku. Mereka aktivis, kader beberapa organisasi, atau berpindah secara berjenjang.  Organisasi mengkaderkan mereka menjadi idealis, rindu masa depan terang-benderang, sambil menuntut supremasi hukum, keadilan, dan perdamaian pada hari ini.  Mereka jualah yang selalu berteriak: Jangan lupa sejarah (masa lalu).

Menyadari diri sebagai agen perubahan, mengukuhkan diri sebagai kelompok elite muda baru, mereka inilah yang paling cerewet terhadap fenomena dan realitas di depan mata.  Mereka telah menjadi penjaga zaman.   Andai malam hari seorang presiden mengumumkan para pembantunya dan tidak terdapat putera-puteri Maluku dalam susunan kabinet, bisa dipastikan besok pagi mereka inilah yang turun ke jalan meneriakkan ketidakpuasan, dan mengancam keluar dari Republik Indonesia.

Kelompok elite muda inilah yang selalu memprotes kenaikkan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik, kasus korupsi, kasus lingkungan, kasus HAM, bahkan sampai masalah internasional seumpama masalah Palestina.  Selama semua aksi mereka dilakukan sebagai panggilan luhur sebagai orang muda yang bertanggungjawab atas sejarah suatu bangsa pada suatu zaman, maka penampilan mereka sungguh membanggakan.

Bila menyaksikan para muda ini berbicara di dalam rapat, pidato, orasi jalanan di panggung  unjuk rasa, mereka terlihat  sangat heroik.  Pidatonya sangat berapi.  Kepal tangan perlawanan yang mereka angkat ke udara, sungguh meneguhkan mereka sebagai Pattimura Muda. 

Meskipun mereka adalah api masa kini, tetapi tetaplah saja mereka belum ranum.  Mereka masih butuh proses pematangan diri satu dua tahap lagi untuk benar-benar menjadi sosok kader bangsa yang paripurna.  Mereka perlu belajar lagi,  lebih tekun berjuang agar pada fisik yang kian matang, ikut matang pula mental, spiritual, intelektual, emosional, yang semuanya  nyata dalam perilaku luhur.

Beberapa orang muda ini, perlu memperbaiki ketrampilan berbahasa (lisan dan tulisan),  baik bahasa ibu, bahasa asing, maupun Bahasa Indonesia.  Tertib dan cerdas Bahasa Indonesia adalah sikap kebahasaan yang menjunjung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang turut diperjuangkan pemuda Maluku Jan Toule Soluhuwej dan Johannis Leimena.  Hormat bahasa, juga merupakan sikap konstitusional.

Mengapa harus memperbaiki sikap kebahasaan? Sebab saban hari kelompok inilah yang langsung berinteraksi dengan sesama aktivis, politisi, birokrat, TNI/Polri. alim-ulama, cendekiawan, akademisi, masyarakat adat, dan semesta pergaulan sosial-politik. Pergaulan yang sehat akan membutuhkan bahasa yang baik pula.

Bayangkan para muda terpelajar dilengkapi produk teknologi tercanggih dalam genggam tangan, tetapi masih menggunakan istilah secara salah-salah bahasa, atau bahasa salah-salah: Polotik, stekmen, menjust, peta-konflik, prejudais, jejak rekam, serta sejumlah kelucuan, kegenitan, dan kekonyolan. 

Jika politik adalah cara meraih tujuan,  maka komunikasi adalah seni utama dalam berpolitik.  Politik adalah seni komunikasi.  Diskusi, debat, lobi, negosiasi, dan segenap bentuk diplomasi membutuhkan ketrampilan bicara yang memadai, jangan serampangan, pas-pasan, melainkan dengan wibawa bahasa, wibawa komunikasi, yang berujung pada wibawa politik juga.

Komunikasi selalu berkenaan dengan komunikator, komunikan, proses, medium, konten dan hasil.  Di sinilah sikap, gaya dan cara berbahasa oleh komunikator dan komunikan menjadi sangat penting.  Gampang-gampang susah, ataupun susah-susah gampang, tetapi memang butuh latihan.

Sambil berlatih komunikasi dengan bahasa yang baik dan santun, kita sebenarnya sedang membangun sikap spiritual yang baik pula.  Bagaimana merumuskan kalimat, melontarkannya dengan nada suara, tempo dan dinamika macam tertentu, semua ini butuh seni,  kreativitas, rasa, budi, kesantunan, dan ekspresi diri yang menawan.

Kasus Gubernur DKI Jakarta Ahok di Pulau Pramuka adalah kasus Bahasa Indonesia sekaligus kasus konten pidato. Terlepas dari masalah hukum, agama, politik, atau momentum apapun, kasus Ahok menjadi kasus komunikasi. Pidato yang direkam, dipublikasi, diedit, dipublikasi kembali, diviralkan melalui media sosial, adalah sebuah kenyataan bagaimana teknologi komunikasi diberdayakan dan memperdayakan.

Di luar kasus Ahok sebagai sebuah gempa komunikasi, kita bisa memeriksa dan menemukan pula gempa-gempa komunikasi lain dalam berbagai skala dan intensitas. Di Maluku, masih segar ingatan kita tentang beberapa orang yang menyebar kabar kibul, ujaran kebencian, dan fitnah melalui media sosial.  Kalau telisik lebih dalam, banyak konten buatan pengguna pada media berita dalam jaringan, juga penuh sampah sumpah serapah.  Status,  komentar,  meme, dan beragam cuit-cuit di media sosial telah menjadi serpihan gempa komunikasi yang turun tanpa peduli di dalam hati dan pikiran kita.  Setiap kita bisa menjadi produsen, konsumen, pelaku, saksi, dan korban gempa komunikasi tersebut.

Ketika debat perdana Kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku di Baileo Siwalima dan disiarkan TVRI dinyatakan ditutup, cakrawala Maluku bagai dikungkung awan gelap dan listik padam.  Dinding facebook dipenuhi dengan status dan komentar yang seakan ingin memberi cahaya dalam kegelapan tersebut.  Orang-orang ingin paling bercahaya, dan semua cahaya harus diredupkan, dan dipadamkan untuk tunduk pada cahayanya.

Sepanjang 2 x 24 jam pasca debat kandidat, gempa komunikasi terus berlangsung secara bising, terutama yang melibatkan pendukung dan simpatisan kandidat “Santun”, “Baileo”, dan “Hebat”.  Beberapa politisi senior ada juga dalam riuh itu, tetapi kaum muda justru paling dominan. Gaya-gaya sastra, satir, sarkas, sinis, ironi, hiperbol, dikerahkan untuk mengagungkan pasangan yang didukung, sambil merendahkan pasangan lain. 

Mengapa media sosial kita di Maluku dipenuhi bahasa politik pedis-pedis begitu? Bukankah kita sering menyatakan “potong di kuku rasa di daging”?  Seperti disebutkan di atas, banyak kaum muda tidak tertib bahasa dan tidak santun komunikasi.  Selain itu, posisi berdiri para komentator dan pembuat status sangat tidak independen. Mereka ada dalam posisi sebagai pihak yang berkepentingan secara politik  dengan kandidat yang didjagokan.  Dalam situasi ini, berlakulah adagium “benar atau salah, inilah jagoan saya”. (Bandingkan dengan fanatisme pendukung sepakbola Eropa di banyak kota).

Apa yang terjadi dengan kita di Maluku hari-hari yang serba politik ini? Mengapa para muda, para aktivis, para politisi begitu dipenuhi berahi politik untuk menumpahkannya di medium apapun termasuk facebook?  Politisi Edison Betaubun punya panggung dan pelantang  suara, sehingga di depan komunikan yang terkonsentrasi, ia bisa melontarkan buah-buah pikir, yang kemudian menjadi buah bibir.

Bagaimana dengan mereka yang tidak punya panggung?  Jangan lupa.  Media sosial seperti facebook adalah media narsis yang bisa digunakan langsung tanpa birokrasi apapun untuk mencurahkan segala gagasan, dari ide-ide yang menghidupkan, sampai ide-ide yang mematikan.

Mengapa begitu banyak orang terpanggil atau bernafsu untuk membunyikan suara, menulis isi kepala, walau itu dengan bahasa tidak tertib, walau dengan kata pedis-pedis? Tentulah semua mereka perlu melakukan sesuatu, agar kebutuhan mereka terpenuhi.  Ibarat lampu padam dan malam gelap, segala sumber cahaya seperti senter, telepon genggam, atau pemantik api, akan terpanggil untuk melawan gelap. 

Mengapa orang-orang tidak independen, tidak netral, yang menjadi bagian dari pasangan kandidat secara langsung maupun tak langsung, justru tampil paling di muka, paling cerewet, jujur, lucu, tapi ada kibul juga.

Kalau kita menyaksikan tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC), maka akan tiba kesempatan Profesor Emeritus J. E. Sahetapy bicara.  Dalam durasi lumayan, Sahetapy mampu membayar dahaga penonton untuk suatu gagasan yang tersendat, masalah pelik yang tak ada jalan keluar.  Di dalam kegelapan berpikir, Sahetapy mampu membawa cahaya.

Di Maluku, pada saat-saat seperti ini, kita rindu banyak orang independen, cendekiawan, alim-ulama, akademisi, budayawan yang independen, tidak tunduk atau ditundukkan secara politik dan ekonomi kepada kekuatan politik atau ekonomi manapun, terutama pasangan calon kepala daerah dan partai-partai politik dan pemodal di belakangnya.

Dalam situasi begini, betapa ingin sekali mendengar suara-suara kenabian yang tidak harus datang dari Sahetapy, melainkan dari lingkungan sosial-politik kita sendiri seumpama Profesor Huliselan, Profesor Soselissa, Profesor Tawainella, Raja Hitu, Raja Soya, Uskup Mandagi, Rektor IAIN Ambon Hasbollah Toisutta, atau siapapun perwakilan suara kita yang arif dan bijaksana, dalam semangat orang basudara (maaf, tidak semua nama yang terbayang bisa ditulis, sebab bakal panjang).

Pada saat-saat ini, kita butuh perwakilan suara,  yakni para pemimpin opini yang sekali bicara, buah pikirannya memang mencerahkan kita semua, lintas kepentingan politik.  Jika suara-suara kenabian, murni dan independen hanya diam, aman, sunyi, suci, tinggi, tetapi tidak dilontarkan, maka jangan marah.  Mari kita serahkan pemimpin opini, pendidikan publik, pendidikan politik, pendidikan komunikasi, pendidikan nilai, kepada elite muda baru.  Mereka memang kurang santun, kurang cerdas bahasa, yang membuat kalimat dengan salah-salah kata, tetapi merekalah guru bangsa.  Teruslah cerewet, selama orang-orang cerdik-cendikia masih tidur.

Bagaimana dengan debat kandidat gubernur kemarin? Semoga gugup dan gagap pada pengalaman pertama  ini, dapat diperbaiki untuk suatu debat yang lebih penuh pesona.  Pemandu debat perlu cerdik mengelola debat, penonton dan pendukung juga harus displin, dan tidak brutal suara.

Terus terang, debat kemarin sungguh jenaka.  Kita sudah bertahun-tahun sibuk membahas angka-angka statistik kemiskinan.  Sudah berbusa-busa pula.  Ini masalah besar, yang dibawa ke dalam durasi sangat pendek untuk kepentingan tayangan televisi yang mahal durasi.  Akibatnya, persoalan besar kemakmuran, tereduksi ke kata magis “miskin, miskin, miskin”.  Kita tidak cepat beranjak ke substansi kesejahteraan rakyat yang ada pada visi ketiga kandidat kepala daerah.

Oleh karena debat kandidat ini dikendalikan secara jenaka, jangan heran penampilan ketiga kandidat juga jadi jenaka.  Ujungnya, muncullah status-status dan komentar jenaka dari para penyokong, penonton maupun penggembira.

Saya ingin menyelipkan sebuah puisi saya dari Antologi Puisi Pesona Ranah Bundo yang diluncurkan pada Hari Pers Nasional (HPN) 2018 di Padang, Sumatera Barat karena seluruhnya 55 penyair adalah wartawan.  Terserah pembaca akan maknai puisi ini dengan imajinasi sendiri, namun saya menulis dengan mengangkat kesakralan masakan rendang pada makanan orang Minang. 

Rendang terdiri dari dagiang simbol kehormatan,  kelapa karambia simbol kebijaksanaan,
Lado, rica-rica  simbol kesucian, dan bumbu pemasak simbol persatuan Ranah Minang.  Mumpung rumah makan Minang banyak di Ambon, semoga pergaulan dengan rendang akan membantu kita membahami perlunya rica-rica pedis-pedis dari wartawan,  aktivis, tetapi paling penting adalah kesucian mulut ulama dan cendikia.  Mumpung juga seorang pria kelahiran Siri-Sori Islam di Saparua bernama Muhammad Padang,  pernah menjabat Gubernur Maluku.  Inilah percakapan imajiner dengan Muhammad Padang.

Rudi Fofid
PERCAKAPAN DENGAN MUHAMMAD PADANG

Jangan biarkan tungku kehabisan bara 
Jangan sampai lidah api redup dan padam
Sebab kita harus terus memasak rendang
Agar disuguhkan di meja persaudaraan

Mari iris dagiang dengan segenap kehormatan
Parutlah karambia dengan kebijaksanaan
Taburlah lado dengan penuh kesucian
Kumpul pemasak dari seluruh Ranah Minang

Mari masak rendang dengan kesejatian api cinta
Jaga jangan sampai tumpah di tanah 
Jaga jangan sampai hangus berjelaga
Sebab rendang adalah kita

Mari makan rendang dengan rasa sayang
Jangan banyak bicara, apalagi terbahak-bahak
Sebab sambil makan, kita terkenang-kenang
Pada Bumi di bawah kaki dan langit di atas kepala

Mari makan rendang pakai tangan saja
Makanlah dengan penuh penghargaan
Sebagaimana ayah dan bundo mengajar 
Sebab rendang adalah kita

Ambon, 12 Januari 2018

Semoga catatan kecil ini menerbitkan rasa humor, merangsang kaum muda cepat matang, jangan terlalu panjang masa “calakate politik”.  Semoga pula kaum cerdik lekas turun gunung, keluar dari gua-gua kontemplatif untuk mencerahkan kultur politik Maluku yang kata orang, politik persaudaraan, politik orang basudara.   

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar